Senin, 29 April 2013

sejarah sumedang

Sejarah Soeria Danoe Ningrat part III oleh Gunawan Suria Danu Ningrat (Catatan) pada 23 Januari 2010 pukul 6:21 C. URUTAN PENDAHULU DARI SUMEDANG Pada akhir abad 14 sebagai salah satu upaya pengembangan wilayah kekuasaan, Raja Galuh yang berkuasa waktu itu menugaskan salah satu kerabatnya untuk berangkat kearah utara mencari dan membuka lahan pertanian baru bersama beberapa kepala keluarga, perjalanan mereka sampailah disuatu daerah di Tatar Sunda bagian tengah yang tidak diketahui apa sudah ada penduduknya atau belum sama sekali dan langsung membuka lahan pertanian, komunitas penduduk tersebut kemudian berkembang dan membentuk pemerintahan setingkat kerajaan kecil/bawahan yang bernama TEMBONG AGUNG (artinya: terlihat bagus, indah, mulia), tepatnya di Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang sekarang dengan raja pertama yang tercatat dalam sejarah Sumedang bernama Prabu Aji Putih atau Prabu Lembu Peteng Aji, diperkirakan kekuasaannya dari tahun 1468 sampai tahun 1482, kerajaan kecil tersebut berinduk ke Kerajaan Galuh sampai dengan berdirinya Kerajaan Pakuan Pajajaran pindah berinduk ke kerajaan besar tersebut. Selanjutnya dari Prabu Aji Putih terjadi pewarisan kekuasaan langsung kepada putranya yang bernama Prabu Taji Malela, (1482 sampai 1492} untuk sebagian ahli sejarah Sumedang beliau dianggap sebagai peletak dasar berdirinya Kerajaan Sumedang Larang, ada yang berpendapat nama Sumedang berasal dari ucapan beliau yang terkenalyaitu INSUN MEDAL INSUN MADANGAN (artinya: aku dilahirkan, aku menerangi) dariinsun madangan diperkirakan terjadi perubahan pengucapan dan dianggap cikal bakal nama SUMEDANG ( inSUN MADANGan ). Beliau menyerahkan kekuasaan mula-mula kepada putranya yang bernama Prabu Lembu Agung namun tidak berapa lama kemudian menjadi resi/pendeta, maka tampuk pimpinan selanjutnya diserahkan kepada putra yang lain bernama Prabu Gajah Agung, ( 1492 sampai 1502 ) beliau memindahkan ibu kota ke kampung Ciguling Desa Pasanggrahan Kecamatan Sumedang Selatan, tidak ada keterangan alasan pemindahan tersebut, apakah karena faktor keamanan ataukah kebiasaan ladang berpindah, dan beliau menjadi Raja SUMEDANG LARANG (Larang artinya unggul, tangguh, kuat). Salah satu benda peninggalan Prabu Gajah Agung adalah keris Ki Dukun yang sarungnya terbuat dari emas murni, sekarang disimpan di museum Prabu Geusan Ulun Sumedang. Pada pewarisan berikutnya kepada Prabu Pagulingan (1502 sampai 1512) dilanjutkan pewarisan kepada Prabu Patuakan (1512-1522) yang kemudian digantikan oleh putrinya Nyi Mas Ratu Patuaka, (1522 sampai 1530) tidak ada keterangan apakah beliau bertindak sebagai pemegang kekuasaan sesungguhnya atau pendamping suami/Raja. Dari Nyi Mas Ratu Patuakan kemudian diwariskan kepada putrinya yaitu Ratu Pucuk Umun (Nyai Mas Ratu Inten Dewata) yang dikemudian hari diperistri oleh Pangeran Kusumadinata/Pangeran Santri dan dikurniai 6 orang anak. Walaupun Ratu Pucuk Umun adalah keturunan langsung sekaligus pewaris Kerajaan Sumedang Larang, namun karena tradisi yang berlaku atau beberapa pertimbangan maka yang diangkat sebagai Raja Sumedang Larang berikutnya adalah sang suami yang bernama Pangeran Kusumadinata/Pangeran Santri keturunan Cirebon memerintah Sumedang dari tahun 1530 sampai 1578, terjadi lagi pemindahan ibu kota ke Kutamaya Desa Padasuka Kecamatan Sumedang Selatan. Dalam silsilah keluarga Sumedang Pangeran Kusumadinata/Pangeran Santri selain dianggap sebagai raja daerah/mandala juga mendapat gelar jabatan NALENDRA dari Kerajaan Pakuan Pajajaran, beliau dijadikan titik tolak urutan para keturunan Sumedang serta diposisikan sebagai Bupati pertama walaupun istilah Bupati belum dikenal pada waktu itu. Mulailah urutan para penguasa atau Bupati yang memerintah Sumedang secara turun menurun, dimulai dari pewarisan kekuasaan/kerajaan kepada salah satu putranya yang bernama Prabu Geusan Ulun/Pangeran Kusumadinata II dan bergelar Nalendra yang memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 1610. Pada masa pemerintahannya datang menghadap untuk mengabdi serombongan orang yang dipimpin oleh 4 Kandage Lante (bangsawan/abdi raja setingkat bupati) dari Pakuan Pajajaran yang telah hancur diserang Kesultanan Banten, kedatangannya selain melaporkan bahwa Pajajaran telah bubar juga meminta agar Prabu Geusanulun meneruskan kepemimpinan Pakuan Pajajaran, diserahkanlah mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Bino Kasih berikut perhiasan serta atribut kebesaran lainnya sebagai bentuk pernyataan bahwa Kerajaan Sumedang Larang telah ditetapkan sebagai penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran, ke 4 Kandaga Lante tersebut adalah : - Batara Sang Hyang Hawu (Sayang Hawu atau lebih dikenal sebagai eyang/Embah Jaya Perkasa ); - Batara Pancar Buana (Terong Peot); - Batara Dipati Wiradijaya (Nganganan); - Batara Sang Hyang Kondang Hapa. Dengan kejadian tadi berarti kedudukan dan kekuasaan Prabu Geusan Ulun Raja Sumedang Larang menjadi lebih besar dengan menerima hibah sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran (seluruh Tatar Sunda kecuali Banten dan Cirebon), sementara Raja Pakuan Pajajaran terakhir (Prabu Nusiya Mulya/Suryakancana) menurut kabar menyingkir ke Gunung Salak sambil menghimpun kekuatan untuk serangan balasan, namun tidak pernah terlaksana karena beliau keburu meninggal dunia. Walaupun telah menerima wilayah kekuasaan dari bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran, sulit bagi beliau untuk mengembangkan kekuasaannya karena posisi Sumedang Larang terjepit diantara dua kekuatan besar yaitu Kerajaan/Kesultanan Banten dan Kerajaan/Kesultanan Cirebon yang sama-sama mengincar wilayah bekas Pakuan Pajajaran. Pada masa pemerintahannya terkenal dengan peristiwa yang menggemparkan sekaligus memalukan yaitu, dibawa kaburnya Ratu Harisbaya salah satu istri Raja Cirebon Pangeran Girilaya Panembahan Ratu pada saat Prabu Geusan Ulun berkunjung ke Keraton Cirebon sekembalinya dari Kerajaan Demak dalam rangka memperdalam agama Islam, terjadi penyerbuan Cirebon yang mengakibatkan beliau terpaksa menyingkir ke Dayeuh Luhur bersama Ratu Harisbaya serta sebagian kecil rakyat dan pengikutnya, meski pada akhirnya tercapai perdamaian dengan Cirebon namun Sumedang Larang mengalami kerugian besar yaitu hilangnya wilayah Sindang Kasih yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Majalengka diserahkan kepada Panembahan Ratu Cirebon sebagai pengganti talak tiga atas nama Ratu Harisbaya, sejak itulah pusat pemerintahan Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur dan akhirnya beliau wafat dan dimakamkan disana bersama Ratu Harisbaya. Ratu Harisbaya diperistri oleh Pangeran Geusan Ulun sebagai istri ke 2 dan memiliki 3 orang anak salah satunya bernama Suriadiwangsa yang kelak bergelar Pangeran Kusumadinata IV, sementara dari istri pertama yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru memiliki 12 anak salah satunya bernama Rangga Gede dan diberi gelar Pangeran Kusumadinata III, untuk tidak menimbulkan pertengkaran di kemudian hari maka pada tahun 1601 wilayah Sumedang Larang dibagi dua yang masing-masing dipimpin oleh ke dua putranya diatas. Dalam masa tersebut Kesultanan Mataram-Jawa Tengah dibawah pimpinan Sultan Agung mengalami masa keemasan dan merupakan kesultanan yang sangat kuat, dilatar belakangi kekhawatiran terhadap ekspansi kesultanan Banten ke arah Timur setelah menaklukkan Pakuan Pajajaran, mendorong Suriadiwangsa berangkat ke Mataram meminta perlindungan. Setibanya di Mataram beilau menyampaikan maksudnya kepada Sultan Agung, dan mendapat sambutan hangat serta mendapat gelar Rangga Gempol Kusumadinata dari Sultan Agung yang dalam urutan silsilah Sumedang disebut Rangga Gempol I, penghargaan lain dari Sultan Agung menjuluki wialayah kekuasaan Sumedang dengan nama PRAYANGAN artinya daerah yang berasal dari pemberian dibarengi oleh hati yang ikhlas dan tulus, di kemudian hari dengan lafal setempat nama prayangan berubah menjadi PRIANGAN, berbeda dengan kata PARAHIANGAN (PARA-HYANG-AN ) yang artinya identik tempat tinggal para dewa atau orang suci (Hyang). Latar belakang lainnya yang mendorong Sumedang menempatkan diri dibawah pretensi atau proteksi Mataram: 1. Hanya Kerajaan/Kesultanan Mataram dibawah kepemimpinan Sultan Agung yang dianggap dapat mengimbangi kekuatan Banten. 2. Ratu Harisbaya merupakan kerabat Raja/Sultan Mataram, sehingga yang berangkat ke Mataram adalah putranya sendiri (Raden Suriadiwangsa/Rangga Gempol I). 3. Seperti halnya Sumedang Larang, Kerajaan/Kesultanan Mataram memiliki pendahulu yang sama yaitu Kerajaan Galuh, sehingga masih memiliki kekerabatan. 4. Rasa sakit hati terhadap Banten yang telah menghancurkan Pakuan Pajajaran, dibarengi pula rasa takut menghadapi kemungkinan ekspansi Kesultanan Banten dalam rangka menguasai wilayah bekas Pakuan Pajajaran. 5. Akibat peristiwa Harisbaya hubungan Sumedang Larang dengan Cirebon menjadi kurang harmonis, timbul pula kekhawatiran terhadap ekspansi Cirebon. 6. Sementara itu sedang terjadi perang dingin antara Kesultanan Banten dengan Kesultanan Cirebon sementara Sumedang Larang terjepit diantara dua kekuasaan tadi sehingga mengambil jalan keluar dengan mengabdikan diri ke Mataram, yang memiliki kekuatan melebihi kedua Kesultanan tadi. Catatan: Kerajaan/Kesultanan Banten, Cirebon dan Mataram sangat kuat pada masa itu, karena mereka memiliki pantai-pelabuhan tempat berbagai kegiatan bukan hanya perdagangan tetapi juga masuknya persenjataan modern ukuran masa itu, Sumedang baru pertama kali memiliki meriam dan senjata api ±30 tahun kemudian pada periode pemerintahan Pangeran Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan) itupun dalam jumlah sedikit yang diperoleh dari pemberian Belanda.. Suriadiwangsa/Kusumadinata IV/Rangga Gempol I diangkat sebagai Bupati Wadana Prayangan, jabatan yang setingkat dengan Gubernur masa kini yang membawahi wilayah seluruh Jawa Barat kecuali Cirebon dan Banten (sebelum Banten menjadi propinsi) termasuk membawahi wilayah yang dikuasai Rangga Gede, tidak berapa kemudian beliau mendapat perintah untuk menaklukkan Sampang Madura. Wilayah kekuasaannya dititipkan kepada Rangga Gede karena putra-putranya belum ada yang dewasa.. Beliau berhasil menaklukkan Sampang Madura namun tidak berapa lama sekembalinya ke Mataram malah beliau dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Agung akibat fitnah dari Bupati Purbalingga yang bernama Dipati Ukur. Mendengar saudaranya telah dihukum mati. Rangga Gede mengambil alih dan mempersatukan wilayah titipan dengan wilayah miliknya, berarti Sumedang Larang kembali ke luas asalnya., salah satu putra Suriadiwangsa/Rangga Gempol I yang bernama Kartajiwa menuntut kembali wilayah kekuasaan ayahnya namun tidak ditanggapi, akhirnya ia pergi dan meminta bantuan Sultan Banten, Mulailah pemerintahan Pangeran Rangga Gede/Pangeran Kusumadinata III baik sebagai Bupati Sumedang maupun sebagai Bupati Wadana Prayangan/Priangan dari tahun 1625 sampai tahun 1633, dibawah pengaruh Mataram dan terdapat berbagai perubahan baik struktur organisasi dan pengenalan nama jabatan antara lain Bupati, Wadana, Kabupaten (dari Ka-Bupati-an), termasuk nama Sumedang Larang menjadi Sumedang saja tanpa Larang, juga berbagai gelar kepangkatan, dalam silsilah dianggap sebagai Bupati Sumedang ke 4. Beberapa waktu kemudian terjadilah intervensi Kesultanan Banten akibat pengaruh Kartajiwa putra Suriadiwangsa/Rangga Gempol yang ingin memperoleh kembali haknya, beberapa wilayah Sumedang ditaklukan dan dikuasai Banten. Karena dianggap tidak mampu menghadapi serangan Banten akhirnya Rangga Gede dipecat oleh Sultan Agung dan dipenjarakan di Mataram. Jabatan beliau sebagai Bupati Wadana Prayangan dicopot dan diserahkan kepada Dipati Ukur yang memindahkan pusat pemerintahan ke daerah Ukur (Bandung sekarang) dengan misi pertama mengusir tentara Kesultanan Bamten dari wilayah Priangan. Setelah berhasil mengusir Banten misi kedua adalah menyerang Batavia namun misi kedua ini gagal dan Dipati Ukur tidak berani pulang ke Mataram. Oleh Sultan Agung tindakan Dipati Ukur dianggap desersi.dan harus dihukum berat, namun tidak ada yang sanggup menangkap Dipati Ukur yang terkenal gagah berani serta memiliki sisa-sisa pasukan yang kuat. Akhirnya Sultan Agung membebaskan Rangga Gede dari hukuman dan memberi tugas menangkap Dipati Ukur hidup atau mati namun tugas tersebut tidak dapat terlaksana karena dalam perjalanan dari Mataram menuju Sumedang beliau keburu meninggal dunia dan dimakamkan di Canukur (Conggeang). Sedangkan Dipati Ukur sendiri akhirnya dapat ditangkap hidup-hidup oleh Bahureksa salah satu panglima perang Mataram akibat pengkhianatan beberapa pengikutnya, dibawa ke Mataram dan dihukum mati disana. Tidak ada keterangan siapa dan berapa jumlah istri Rangga Gede hanya tercatat beliau memiliki 29 orang anak. Pemerintahan Kabupaten Sumedang selanjutnya dipegang oleh salah seorang putra Rangga Gede yang bernama Raden Bagus Weruh yang kemudian bergelar Pangeran Rangga Gempol II sebagai Bupati Sumedang ke 5 dari tahun 1633 sampai tahun1656, dan terjadi lagi pemindahan ibu-kota dari Canukur ke Kampung Sulambitan Kelurahan Regol Wetan Kecamatan Sumedang Selatan, berbeda dengan pendahulunya beliau bukan Bupati Wadana sebagai akibat peristiwa Dipati Ukur karena dalam masa awal pemerintahnya terjadi pemecahan wilayah di Prayangan/Priangan oleh Mataram menjadi empat Kabupaten yang sejajar kedudukannya yaitu Kabupaten Parakan Muncang, Bandung, Sukapura dan Sumedang sendiri, berarti wilayah Kabupaten Sumedang menjadi kecil hanya seperempat dari wilayah semasa Prabu Geusan Ulun, maksud pemecahan ini adalah penghargaan terhadap 3 orang bekas pengikut Dipati Ukur yang membelot dan ikut serta dalam operasi pengejaran serta penangkapan Dipati Ukur oleh Bahureksa dan masing-masing diangkat sebagai Bupati juga dalam rangka persiapan penyerangan ke Batavia untuk yang ketiga kalinya, namun tidak terwujud karena Sultan Agung keburu meninggal dunia. Beliaupun tidak ada keterangan berapa jumlah istrinya namun memiliki 29 orang anak. Pengganti Rangga Gempol II adalah salah satu putranya yang bernama Pangeran Rangga Gempol III sebagai Bupati Sumedang ke 6 dari tahun 1656 sampai tahun 1706, beliau memindahkan ibu kota dari Sulambitan ke Tegal Kalong Kecamatan Sumedang Utara, dalam sejarah Sumedang beliau adalah termasuk Bupati yang cerdas dan pandai, tingkat diplomasinya tinggi sehingga Raja Mataram Amangkurat I sangat terkesan dan memberi gelar tertinggi Pangeran Panembahan padahal Amangkurat I terkenal dengan kekejamannya (bandingkan dengan nasib Sultan Sepuh Cirebon yang dipenjarakan oleh beliau), tidak berapa lama kemudian timbul pemberontakkan Trunojoyo terhadap Amangkurat I dan baru dapat dipadamkan semasa Amangkurat II berkat bantuan dari pasukan VOC-Belanda. Sementara itu beliau memanfaatkan situasi dengan diam-diam tidak lagi mengakui eksistensi Mataram, tidak pernah memenuhi undangan atau panggilan dari Sultan Mataram, tidak pernah melaksanakan perintah-perintah dan menghentikan pengiriman pajak-upeti ke Mataram, sementara pihak Mataram sendiri tidak dapat berbuat banyak karena sibuk menghadapi pemberontakkan Trunojoyo tadi. Usai pemberontakan Trunojoyo, Mataram terpaksa melunasi hutang dan janjinya kepada VOC-Belanda antara lain penyerahan sebagian wilayah Mataram namun tidak termasuk Priangan, malahan ditegaskan oleh Amangkurat II bahwa Priangan adalah wilayah kekuasaan Sumedang. Pernyataan tersebut langsung maupun tidak langsung mengandung arti penambahan wilayah Sumedang kembali seperti semula semasa Geusanulun, dan selanjutnya Pangeran Panembahan memposisikan diri sebagai Bupati-Wadana, tidak ada Bupati-bupati di wilayah Priangan yang berani menentangnya, selain karena beliau dikenal sebagai sosok yang gagah berani juga Sumedang memiliki pasukan yang sangat kuat. Untuk sementara waktu Sumedang kembali merupakan wilayah yang merdeka, berdiri sendiri, tidak lagi dibawah perintah atau kekuasaan siapapun, sampai akhirnya datang utusan dari Sultan Banten mengajak Sumedang-Priangan bergabung untuk memerangi VOC-Belanda. Ajakan ini ditolak mentah-mentah malahan diinformasikan kepada pihak VOC-Belanda. Dengan alasan untuk mengantisipasi serangan Banten, beliau meminta VOC Belanda berbagai senjata modern ukuran masa itu, yang dikabulkan dan diantar oleh kapten Mitchel sebagai utusan resmi VOC-Belanda. Tentu saja tindakan beliau membuat Kesultanan Banten marah., namun untuk melakukan serangan terbuka tidaklah mungkin sehingga ditempuhlah cara yang licik., terjadilah. kejadian yang menggemparkan dan menyedihkan yaitu serangan Kesultanan Banten secara tiba-tiba yang dipimpin oleh Cilikwidara justru pada saat beliau dan rakyatnya sedang melaksanakan sholat Idul-Fitri yang harinya kebetulan jatuh pada hari Jumat, banyak kerabat dan rakyat yang tewas terbunuh karena dalam keadaan sama-sekali tidak siap untuk bertempur namun beliau selamat dan mengungsi dengan sisa-sisa kekuatannya, sebagai peringatan atas kejadian tersebut muncul tradisi apabila hari raya Idul Fitri jatuh pada hari Jumat, diharapkan para Bupati Sumedang dalam melaksanakan sholat tidak di wilayah Kabupaten Sumedang. Dalam pengungsian itulah beliau terpaksa membuat perjanjian dengan VOC-Belanda melalui kapten Mithcel yang ikut mendampingi beliau dalam upaya mengembalikan lagi kekuasaannya. Kabupaten Sumedang diduduki dan diperintah oleh Cilikwidara dari Kesultanan Banten selama ± 2 tahun, namun akibat sikap rakyat Sumedang yang tidak senang dengan pemerintahannya yang otoriter timbul berbagai pemberontakan kecil serta masuknya pasukan VOC-Belanda ke wilayah Sumedang-Priangan, akhirnya Kesultanan Banten memanggil pulang Cilikwidara bersama pasukannya kembali Banten dan kekuasaan kembali ke tangan Pangeran Panembahan. Dampak lain dari peristiwa tadi, sejak itulah Sumedang berada dibawah kekuasaan VOC-Belanda dengan perkataan lain dimulailah era penjajahan Belanda di tanah Pasundan/Priangan. Beliaulah yang pertama kali menetapkan adanya tanah-tanah kabupatian lebih dikenal dengan istilah Tanah Kaprabon, yang hasilnya sebagai gaji Bupati berikut pembantu-pembantunya, tidak lagi mengandalkan pemberian upeti/seba/pajak dari masyarakatnya (sama dengan menggaji sendiri) sehingga banyak mengurangi beban masyarakatnya, tanah-tanah tersebut bersifat turun menurun artinya dinikmati oleh para Bupati penerusnya yang juga keturunannya dan sekarang dikelola oleh Yayasan Pangeran Sumedang (YPS), termasuk pada waktu itu pula Kabupaten Sumedang untuk pertama kalinya memiliki persenjataan modern seperti meriam besar, meriam kecil (kalantaka) dan beberapa pucuk senapan, walau dalam jumlah yang tidak terlalu banyak namun cukup untuk meningkatkan harga diri Sumedang dimata Bupati-bupati lainnya, ketenaran dan sifat bijaksana beliau menyebabkan banyak rakyat dari daerah lain pindah ke Sumedang untuk menetap dan mengabdi kepadanya, hal tersebut sempat disaksikan dan dicatat oleh Kapten Mitchels pada saat berada di Sumedang (1678). Dalam sejarah Bogor terdapat suatu catatan yang tidak ada dalam sejarah Sumedang, yaitu ditugaskannya Letnan Raden Tanujiwa beserta 60 orang dari Kabupaten Sumedang oleh pemerintah VOC-Belanda pada tahun 1690 untuk membuka perkampungan baru di wilayah Bogor antara lain Jatinegara (sekarang masuk Jakarta), Parung Panjang, Parung, Parung Banteng, Citeureup, Cikeas (wilayah Kabupaten Bogor sekarang), Panaragan, Bantarjati, Sempur, Baranangsiang dan Cimahpar (wilayah Kota Bogor sekarang), siapa Tanujiwa tidak ada catatan khusus namun menilik dari namanya dalam silsilah Sumedang periode saat itu terdapat beberapa nama dengan kata depan Tanu (seperti Tanureja, Tanusuta, Tanumaja) kemungkinan beliau termasuk kerabat atau bangsawan Sumedang, bagi sebagian ahli sejarah Bogor Tanujiwa dianggap Bupati pertama dan peletak dasar pembentukan Kabupaten Bogor. Dalam Silsilah keturunan Sumedang Pangeran Rangga Gempol III/Pangeran Panembahan tercatat memiliki istri yang bernama Nyai Raden Ayu Sepuh dan berputra 6 orang salah satunya bernama Raden Tumenggung Tanumaja ditetapkan sebagai Bupati Sumedang ke 7 memerintah dari tahun1706 sampai 1709 kekuasaanya tidak seperti pendahulunya karena jabatan Bupati Wadana dihapus diganti oleh Residen yang dipegang oleh Belanda, beliau adalah Bupati Sumedang pertama yang pengangkatan dan pelantikannya oleh VOC-Belanda, usia pemerintahannya terhitung pendek hanya 3 tahun karena keburu wafat, tetapi berdasarkan catatan yang ada tindakan beliau sering merepotkan VOC-Belanda, antara lain suka menyerang dan mencaplok wilayah kabupaten-kabupaten tetangganya khususnya Cirebon sehingga menimbulkan pertengkaran dan menjurus kepada peperangan, akibatnya VOC-Belanda harus sering turun tangan mendamaikan, beliau memindahkan ibu kota kembali ke Kelurahan Regol Wetan Kecamatan Sumedang Selatan sampai sekarang, tidak diketahui siapa nama dan berapa istrinya hanya tercatat beliau memiliki 10 orang anak. Salah satu putra yang bernama Pangeran Kusumadinata menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Sumedang ke 8 dari tahun 1709 sampai tahun 1744, dan memakai gelar Rangga Gempol IV tetapi gelar tersebut tidak diakui oleh VOC-Belanda, identik dengan ayahnya beliau juga sering merepotkan VOC-Belanda, banyak keinginan dan tindakan-tindakannya dalam rangka memperluas wilayah kekuasaan Sumedang membuat VOC-Belanda kerepotan, beliau seringkali mendapat teguran dari VOC-Belanda, jasa beliau adalah pencetakan sawah baru termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakatnya sehingga rakyat Sumedang menjulukinya sebagai Pangeran Karuhun, memiliki 21 anak tanpa ada catatan berapa jumlah istirnya Yang menggantikan Pangeran Kusumadinata/Pangeran Karuhun adalah putri sulungnya yaitu Nyi Raden Rajaningrat, dikenal sebagai perempuan pertama yang menduduki jabatan Bupati Sumedang ke 9 dari tahun 1744 sampai tahun 1759, menikah dengan Dalem Surianagara (putra Raden Wangsadita Bupati Limbangan), alasan VOC-Belanda tentang penunjukan tersebut karena semua anak laki-laki dari Pangeran Kusumadinata/Pangeran Karuhun (Puspanata, Diranata dan Tawang) dianggap tidak memenuhi syarat, berbeda dengan salah satu pendahulunya yaitu Ratu Pucuk Umun, Nyai Raden Rajaningrat walaupun seorang perempuan/istri tetap memiliki kekuasaan dan menjalankan pemerintahannya secara langsung (tidak diserahkan kepada suaminya), VOC-Belanda memanggilnya Regeentes (Bupati Perempuan), sementara salah satu cucunya disepakati untuk dipersiapkan sebagai calon Bupati berikutnya yaitu Raden Jamu yang saat itu masih kanak-kanak. Sambil menunggu Raden Jamu dewasa maka salah satu putranya bernama Raden Anom diangkat menjadi Bupati Sumedang ke 10 dan bergelar Adipati Kusumadinata memerintah hanya dari tahun 1759 sampai tahun 1761, tidak ada catatan khusus mengenai kepemimpinan beliau, mungkin karena usia pemerintahannya tergolong singkat hanya 2 tahun, kepemimpinan diserahkan kepada anak berikutnya yang bernama Raden Surianagara dari tahun 1761 sampai tahun1765 sebagai Bupati Sumedang ke 11 yang kemudian bergelar Adipati Surianagara II, beliau adalah ayah kandung Raden Jamu dari pernikahannya dengan Nyai Mas Naga Kasih (hanya memiliki 2 orang anak)., bila menyimak silsilah keturunan Sumedang Nyai Mas Naga Kasih masih termasuk kerabat dan tingkat generasinya lebih senior dari Adipati Surianagara II, sehingga sekilas tampak adanya pernikahan bibi dengan keponakan, namun kemungkinan besar jarak hubungan sosial antara keduanya sudah demikian jauh sehingga dimungkinkan adanya pernikahan tersebut serta sebagai salah satu upaya menjaga kemurnian darah Kasumedangan. Sama seperti kakaknya ia hanya memerintah dalam jangka waktu pendek yaitu 4 tahun juga tidak ada catatan khusus selama beliau memimpin, sambil menunggu putranya (Raden Jamu) dewasa maka yang menggantikan adalah adiknya yang bernama Raden Surialaga Bupati ke 12 dari tahun1765 sampai tahun1773, juga tidak ada catatan khusus mengenai beliau, setelah meninggal dunia terjadi kekosongan Kebupatian Sumedang karena Raden Jamu dianggap belum dewasa, Raden Surialaga sendiri akhirnya dijuluki Dalem Panungtung (Bupati paling ujung/akhir ) dari silsilah keturunan Pangeran Santri. Untuk mengisi kekosongan, VOC Belanda memutuskan untuk menempatkan sementara Bupati dari luar Sumedang (diluar garis keturunan Pangeran Santri) yaitu Adipati Tanubaya yang semula menjabat Bupati Parakan Muncang dan setelah meninggal digantikan oleh putranya yang bernama Tumenggung Patrakusumah dengan mengambil gelar seperti ayahnya Tanubaya II tapi gelar tersebut tidak diakui oleh VOC-Belanda. Seperti telah disebutkan bahwa cucu Dalem Istri Rajaningrat, putra Adipati Surianagara II yang bernama Raden Jamu sejak kecil telah dipersiapkan baik oleh kerabat Sumedang maupun VOC-Belanda untuk menjadi Bupati Sumedang berikutnya, namun dibandingkan dengan para pendulunya beliau tidak begitu saja dengan mudah memegang tampuk kebupatian berikutnya, berbagai hambatan menghadangnya dimana beliau hampir dibunuh oleh mertuanya sendiri Raden Tumenggung Patrakusumah yang sedang menjabat sementara Bupati Sumedang . Menurut cerita salah satu besan Raden Tumenggung Patrakusumah bernama Demang Dongkol (nama julukan dan tidak pernah diungkap nama aslinya) dari Parakanmuncang berkeinginan agar Bupati Sumedang periode berikutnya jatuh kepada salah satu putra kandungnya dan bukan Raden Jamu pewaris asli. Maka ia menyebarkan fitnah dan menghasut sang besan sehingga timbul kebencian dari Tumenggung Patrakusumah terhadap sang Raden Jamu sebagai menantu, puncaknya adalah upaya pembunuhan yang didalangi sang mertua terhadap menantunya. Menyadari bahaya yang timbul Raden Jamu melarikan diri ke Kabupaten Cianjur meninggalkan istrinya (putri Tumenggung Patrakusumah) yang bernama Nyi Raden Raja Mira dan putri tunggalnya Nyi Raden Kasomi, menyamar dan mengabdi di daerah tersebut tanpa ada yang tahu siapa beliau sebenarnya, dimulai dari penyamaran sebagai buruh perkebunan kopi kemudian magang pada jabatan pemerintahan paling terendah yaitu juru tulis (pegawai tata usaha) di salah satu wilayah setingkat Kecamatan, karena prestasi kerjanya sangat baik akhirnya Bupati Cianjur Raden Adipati Aria Wiratanu Datar VI mengetahui siapa beliau sebenarnya, tidak berapa lama kemudian beliau dinikahkan dengan Nyai Raden Lenggang Kusuma keturunan Bupati Cianjur Wiratanu Datar IV dan memiliki 3 orang anak. Terakhir beliau menjabat Wedana Cikalong Kabupaten Cianjur, dan atas usulan Raden Aria Sacapati pejabat sementara Bupati Sumedang pengganti Tumenggung Patrakusumah dan juga berkat perlindungan serta dukungan Bupati Cianjur akhirnya Raden Jamu dapat kembali ke Sumedang dengan selamat untuk kemudian diangkat sebagai Bupati Sumedang ke 15 (dalam urutan para Bupati Sumedang ) dengan gelar Pangeran Surianagara Kusumadinata memerintah dari tahun 1791sampai tahun 1828, serta dianggap sebagai kembalinya tampuk jabatan bupati kepada keturunan langsung Pangeran Santri yang dalam beberapa periode sempat terputus (menunggu Raden Jamu dewasa). sementara sang mertua (Raden Tumenggung Patrakusumah) telah dipecat sebelumnya oleh Pemerintah Belanda karena prestasi kerja serta tabiatnya dianggap buruk dan selanjutnya dibuang ke Batavia, wafat dan dimakamkan disana. Tidak berapa lama kemudian VOC dibubarkan karena mengalami kemerosotan dan kerugian besar sehingga pemerintahan langsung dipegang oleh Kerajaan Belanda dengan mengangkat Gubernur Jenderal sebagai perwakilan kerajaan dan penguasa di negeri Nusantara., satu kejadian penting pada masa pemerintahan beliau adalah diberlakukannya Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) khususnya kopi, lada dan nira. Pangeran Surianagara Kusumadinata adalah salah satu Bupati Sumedang yang paling populer di Tatar Sunda karena keberaniannya membantah perintah Marsekal Herman Willem Daendels Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang terkenal galak (sehingga dijuluki Tuan Besar Guntur) dalam peristiwa pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan di salah satu lokasi yang kemudian dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Tidak hanya itu saja berbagai dokumen dan catatan menyatakan bahwa beliau dikenal sebagai Bupati yang sederhana, ramah, sangat mencintai dan dicintai rakyatnya, mungkin karena beliau meniti karir dari yang paling bawah sehingga sedikit banyak membuka mata hati beliau melihat kondisi masyarakat yang sebenarnya. Selama kepemimpinan beliau Kabupaten Sumedang mengalami berbagai kemajuan terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan, berbagai pujian dan penghargaan beliau terima dari pemerintah Hindia Belanda, surat pujian dan penghargaan tersimpan di Museum Prabu Geusanulun Sumedang. Beliau memperoleh pangkat militer Kolonel dan karena lafal setempat masyarakat menyebutnya Pangeran Kornel, penganugerahan pangkat tersebut didasarkan jabatan Bupati yang disetarakan dengan pangkat militer serta prestasi gemilang beliau dalam menumpas berbagai kerusuhan dan gangguan keamanan antara lain peristiwa pemberontakan Ki Bagus Rangin dari Cirebon. Beliau meninggal dunia tidak berapa lama setelah usai menghambat gerakan pasukan Diponegoro yang berupaya masuk ke wilayahnya untuk menyerang Batavia, tindakan beliau semata-mata ingin menciptakan dan menjaga situasi kondusif yang telah lama berlangsung di Kabupaten Sumedang. Memiliki 2 orang istri dan 4 orang anak dimana salah satunya kelak diangkat menggantikan beliau sebagai Bupati Sumedang ke-16 yaitu Raden Adipati Kusumayuda dari tahun 1828 sampai tahun1833, konon beliau berbadan tinggi besar sehingga dijuluki Dalem Ageung (besar), hanya sedikit catatan yang menceritakan kepemimpinan beliau, antara lain bagaimana beliau lebih disibukkan urusan keamanan, sering bertempur dan terlibat perkelahian langsung dengan para perusuh serta perampok., rupanya beliau memiliki keahlian dan hobi bertempur / berkelahi. Seharusnya pengganti Adipati Kusumayuda adalah putranya yang telah dipersiapkan yaitu Raden Somanagara, namun karena masih kanak-kanak dan khawatir peristiwa proses pengangkatan Pangeran Kornel terulang kembali maka jabatan Bupati Sumedang untuk sementara dipegang oleh sang paman bernama Adipati Kusumadinata dan dilanjutkan oleh Tumenggung Suriadilaga dari tahun 1833 sampai 1836. Akhirnya pada tanggal 20 Januari 1836 Raden Somanagara dilantik menjadi Bupati Sumedang ke 19, dengan gelar Pangeran Suria Kusumah Adinata yang memerintah dari tahun 1836 sampai tahun 1882. Beliau dikenal sebagai Bupati terkaya dalam urutan para Bupati Sumedang sebelumnya dan terkaya di Tatar Sunda waktu itu, yang berasal dari: 1. Warisan para pendahulunya berupa tanah Kaprabon (gaji Bupati) yang diawali dari sejak Pangeran Panembahan (Bupati Sumedang ke 6/Rangga Gempol III) yang semakin bertambah luas termasuk jumlah arealnya (menyebar di beberapa Kecamatan) oleh para Bupati berikutnya. 2. Pada saat itu Kabupaten Sumedang mengalami jaman keemasan dengan tingginya produksi pertanian terutama padi, kopi dan nila. Salah satu bukti meningkatnya produksi kopi adalah pendirian Gudang Kopi di wilayah Kecamatan Sumedang Selatan (sekarang berubah menjadi Kantor Pegadaian) dan di beberapa tempat diluar Kota Sumedang, termasuk rencana membuka jalur kereta-api Bandung-Sumedang untuk mengangkut kopi, namun entah kenapa tidak jadi dilaksanakan, beberapa bekas rencana pembangunan tersebut masih ada antara lain bangunan mirip Stasiun di Jatinangor belakang kampus IPDN, alur jalan untuk rel kereta api di Jatinangor-Tanjungsari-Sumedang dan beberapa jembatan beton yang dibiarkan terbengkalai. Karena kekayaannya maka beliau dijuluki Dalem Sugih (kaya), selain harta kekayaan yang dimilikinya beliaupun dikenal sebagai Bupati yang memiliki 4 permaisuri/garwa padmi, 27 garwa selir dan 94 anak. Salah satu permaisuri/garwa padminya bernama Raden Ayu Mustikaningrat, putrid Bupati Galuh Ciamis Raden Adipati Aria Kusumadiningrat/Kanjeng Perbu dari pernikahan dengan Raden Ayu Juwitaningrat putri Tionghoa yang nama aslinya adalah Tee Pit Nio (lihat silsilah dari Ciamis). Dari pernikahan tersebut lahir 13 anak antara lain Raden Panji Suriakusumah, walaupun Raden Panji Suriakusumah memiliki status yang relatif kuat yaitu sebagai salah seorang putra Bupati Sumedang dari istri permaisuri/garwa padmi dan juga salah seorang cucu Bupati Ciamis, namun karir beliau hanya sampai jabatan assisten wedana (setingkat Camat) dan terakhir menjabat di Malangbong-Tasikmalaya, dikarenakan jabatan Bupati pada masa itu tidak hanya ditentukan oleh keturunan dan kesepakatan keluarga tetapi juga harus ada ijin atau restu serta keputusan dari Pemerintah Belanda. Masa purna baktinya dihabiskan di Ciamis sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Pemakaman Jambansari berdekatan dengan makam sang kakek (R.A.A. Kusumadiningrat/Kanjeng Perbu) dan persis disebelah makam sang ibu tercinta (R.A. Mustikaningrat). Catatan : Raden Panji Suriakusumah memiliki watak yang keras dan tegas namun penyayang, pada saat beliau bertugas sebagai pamong di Kabupaten Sumedang mendapat kabar bahwa salah satu bawahannya seorang Kuwu (Kepala Desa) disiksa oleh seorang pejabat Belanda karena kesalahannya yang sebenarnya kecil, ketika beliau menghampiri orang Belanda tadi untuk menyelesaikan persoalan secara baik-baik malah mendapat perlakuan tidak sopan, timbul amarahnya dan terjadilah perkelahian yang mengakibatkan pejabat Belanda tadi menderita luka-luka yang cukup parah. Akibat kejadian tersebut beliau hampir saja diseret ke pengadilan dengan tuduhan melawan pejabat Pemerintah Belanda, berkat perjuangan sang kakek (R.A.A.Kusumadiningrat/Kanjeng Perbu) beliau tidak jadi diadili, tetapi nama beliau dicoret dari nominasi calon Bupati Sumedang tanpa ada pembelaan atau dukungan dari sang ayah Kandung (Pangeran Sugih Bupati Sumedang), akibat lainnya karir beliau ikut terhambat hanya sampai asisten wadana di luar Kabupaten Sumedang. Beliau memiliki 3 istri dan 12 anak, dari salah satu istrinya yang bernama Nyai Raden Raja Ratna/Retnadi/Permata lahirlah Raden Makmun, kelak diangkat dan dilantik sebagai Bupati Sukabumi dengan nama dan gelar RADEN ADIPATI SURIA DANU NINGRAT. Bila dibuat bagan silsilah pendahulu kita dari Sumedang adalah sebagai berikut Kerajaan Galuh di Ciamis ↓ Prabu Aji Putih/Prabu Lembu Peteng Aji Raja Tembong Agung Di Darrmaraja Sumedang (± 1400-… ) ↓ Prabu Taji Malela Raja Tembong Agung / Sumedang Larang Di Darmaraja Sumedang ↓ Prabu Gajah Agung Raja Sumedang Larang ↓ Prabu Pagulingan Raja Sumedang Larang ↓ Sunan Tuakan Raja Sumedang Larang ↓ Nyi Mas Ratu Patuakan Raja / Ratu Sumedang Larang (…-1530) ↓ Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Inten Dewata Menikah dengan Pangeran Kusumadinata / Pangeran Santri Raja/Nalendra/Bupati ke 1 Sumedang Larang (1530-1578) ↓ Prabu Geusan Ulun Raja/Nalendra/Bupati ke 2 Sumedang Larang (1578-1610) ↓ Pangeran Rangga Gede Bupati Wadana Prayangan/Bupati Sumedang ke 4 (1625-1633) ↓ Pangeran Rangga Gempol II Bupati Sumedang ke 5 (1633-1656) ↓ Pangeran Rangga Gempol III Bupati Wadana Sumedang ke 6 (1656-1706) ↓ Tumenggung Tanumaja Bupati Sumedang ke 7 (1706-1709) ↓ Pangeran Kusumadinata Bupati Sumedang ke 8 (1709-1744) ↓ Dalem Istri Rajaningrat Bupati Sumedang ke 9 (1744-1759) ↓ Adipati Surianagara II Bupati Sumedang ke 11 (1761-1765) ↓ Pangeran Surianagara Kusumadinata / Pangeran Kornel Bupati Sumedang ke 15 (1791-1828) ↓ Raden Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung Bupati Sumedang ke 16 (1828-1833) ↓ Pangeran Suria Kusumadinata / Pangeran Sugih Bupati Sumedang ke 19 (1836-1882 ) ↓ Raden Panji Suriakusumah Assisten Wadana Malangbong ↓ Raden Adipati Aria Suria Danu Ningrat / Dalem Gelung Bupati Sukabumi ( 1933-1942, 1947-1948 ) ↓ R. Gartidjah R. Garminah R.Gandhi Mohammad R. Gandhini R. Gartiwi R. Garmini R. Garmita R. Gartika R. Garsemi R. Goemira Swargana R. Ganda Soemaryana ↓ dst D. URUTAN PENDAHULU DARI SUKAPURA-TASIKMALAYA. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa semasa pemerintahan Prabu Geusanulun sampai dengan Pangeran Rangga Gempol II wilayah Sumedang mencakup seluruh Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon. Wilayah tersebut dibagi lagi menjadi beberapa bagian berdasarkan jumlah penduduk dan kepala keluarga, dipimpin oleh seorang Umbul. Diceritakan semasa Sultan Agung-Mataram diadakan penyerangan ke Batavia dan salah satu panglima perangnya adalah Dipati Ukur Bupati Wadana Priangan yang sebelumnya Bupati Purbalingga menggantikan Rangga Gede Bupati Sumedang yang dipecat karena dianggap gagal membendung serangan Kesultanan Banten. Namun serangan yang dipimpinnya menemui kegagalan, dan Dipati Ukur tidak berani menghadap Sultan Agung di Mataram karena takut dihukum mati. Akhirnya beliau bersama sisa-sisa pasukannya melarikan diri dan bersembunyi di suatu tempat berada di wilayah Sukabumi bagian selatan. Diantara sejumlah pengikutnya terdapat 3 orang umbul yang diam-diam membelot/meninggalkannya dan menghadap Sultan Agung di Mataram. Oleh Sultan Agung mereka diperintahkan untuk mendampingi Bahureksa kembali ke Tatar Sunda dan menunjukkan tempat persembunyian Dipati Ukur untuk menangkapnya. Setelah Dipati Ukur berhasil ditangkap, dibawa ke Mataram dan dihukum mati disana, tidak berapa lama kemudian ke 3 umbul tadi mendapat anugerah diangkat sebagai mantri agung dan selanjutnya menjadi Bupati di wilayah umbulnya masing-masing. Catatan: Dalam uraian sejarah Sumedang telah diceritakan bahwa kematian Suriadiwangsa/Rangga Gempol I akibat fitnah dari Dipati Ukur dan selanjutnya merebut kedudukan Bupati Wadana Prayangan/Priangan dari tangan Rangga Gede, namun akhirnya Dipati Ukur beserta sisa-sisa pengikutnya menemui kematiannya secara tragis justru di tangan rajanya sendiri yaitu Sultan Agung Mataram. Apakah ini hukum karma ? Salah satu dari ke 3 umbul tadi bernama Wirawangsa yang menjabat umbul Sukakerta, kemudian mendapat anugerah dengan diangkat menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha. Sukapura yang semula berada dalam wilayah kekuasaan Sumedang. menjadi Kabupaten yang sama kedudukannya, sementara umbul yang lainnya diangkat menjadi Bupati Timbanganten/Bandung (Raden Tumenggung Wiraangun angun) dan Bupati Parakan Muncang (Raden Tumenggung Wiratanubaya) yang dahulunya sama berada dalam wilayah kekuasaan Sumedang. Kejadian tersebut tercatat dengan keluarnya Piagam Sultan Mataram tanggal 26 Juli 1932. Selain sebagai penghargaan juga terkandung maksud dari Sultan Agung untuk persiapan penyerangan Batavia ketiga kalinya melalui re-organisasi kewilayahan, namun tidak terlaksana karena beliau keburu meninggal dunia. Catatan : Siapakah sebenarnya Wirawangsa ? Dalam buku sejarah Sukapura diterangkan bahwa beliau putra Wiraha dan cucu Pangeran Kusumadiningrat seorang bangsawan Mataram yang suka berkelana kemudian menikah dengan salah satu putri Rangga Gempol Sumedang. Namun dalam silsilah Sumedang tidak tercantum nama beliau, walaupun tercantum Kusumahdiningrat yang menikah dengan R.A Ayoemayar putri Rangga Gede namun tidak ada catatan nama keturunannya. Begitu pula dalam buku sejarah Sukapura tercatat ibu kandung Wirawangsa bernama Nyi Raden Agung namun tidak tercatat dalam buku silsilah keturunan Sumedang.. Sampai tulisan ini disusun belum diketemukan sosok yang sebenarnya dari Wirawangsa. Wirawangsa/Raden Tumenggung Wiradadaha memerintah Kabupaten Sukapura dari tahun 1632 sampai tahun 1673, dalam sejarah Sukapura beliau dikenal sebagai Wiradadaha I, memiliki beberapa istri dan selir serta berputra 28 orang. Sepeninggal beliau diganti oleh salah satu putranya yang bernama Raden Jayamanggala dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha II, namun dalam perjalanan pulang dari Mataram selesai dilantik beliau meninggal dunia, memiliki 10 orang putra yang masih kanak-kanak yang dianggap belum pantas menggantikan posisi ayahnya dan salah satu putra bernama Raden Abdul. Akhirnya adik Raden Jayamanggala yang bernama Raden Anggadipa diangkat sebagai Bupati Sukapura dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha III, beliau memerintah dari tahun 1675 sampai 1723. Selain itu beliau mendapat julukan Dalem Sawidak karena dari beberapa istri dan selir beliau memiliki 62 orang anak (bhs.Sunda Sawidak=60). Seperti daerah-daerah lainnya dalam masa pemerintahan beliau terjadi pergantian penguasa dari Mataram ke VOC Belanda, dan Kabupaten Sukapura ditempatkan dibawah Karesidenan Cirebon. Tampuk kepemimpinan kemudian beralih kepada salah satu putranya yang bernama Raden Subamanggala dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha IV yang memerintah dari tahun 1723 sampai 1745 dan Bupati Sukapura pertama yang dilantik oleh VOC-Belanda, beliau tidak memiliki anak dan untuk mengisi kekosongan sepeninggal beliau diangkatlah Raden Demang Sacapati, putra Raden Abdul yang juga cucu Raden Jayamanggala/Raden Tumenggung Wiradadaha II dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha V yang memerintah dari tahun 1745 sampai 1747. Beliau memiliki 4 istri dan 10 anak dan memerintah hanya 2 tahun Sepeninggal Raden Sacapati/Raden Tumenggung Wiradadaha V, dikarenakan anak-anaknya masih kecil ditugaskanlah oleh Pemerintah Belanda Raden Tumenggung Wiratanubaya III Bupati Parakan Muncang memegang sementara Kabupatian Sukapura sampai salah satu putra Raden Demang Sacapati/Raden Tumenggung Wiradadaha V yang bernama Raden Jayanggadireja dewasa dan dianggap pantas untuk meneruskan tampuk kepemimpinan dengan bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VI dari tahun 1747 sampai 1765, beliau hanya memiliki 3 orang anak dan salah satu anaknya yang bernama Raden Jayamanggala meneruskan estafet kepemimpinan dengan bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VII, Di kemudian hari karena dianggap pandai mengurus daerahnya beliau mendapat gelar Adipati dari Pemerintah Belanda dan berganti nama menjadi Raden Adipati Wiratanubaya memerintah dari tahun 1782 sampai 1805. Beliau memiliki sejumlah istri dan selir berputra 37 orang diantaranya terdapat Raden Anggadipa yang kemudian menggantikannya dengan gelar Raden Adipati Wiradadaha VIII dari tahun 1805 sampai 1828, di tengah masa pemerintahannya yaitu tahun 1811 oleh Gubernur Jendral Raffles pada saat Kerajaan Inggris berkuasa di Nusantara menggantikan Kerajaan Belanda, beliau dicopot pula dari jabatannya dan Kabupaten Sukapura dinon-aktifkan. Latar belakang peristiwa tersebut karena beliau dianggap gagal dalam kewajiban tanam Nira. Namun pada saat Belanda kembali berkuasa pada tahun 1813 Kabupaten Sukapura diaktifkan kembali namun dibawah kepemimpinan Bupati dari Sumedang yang bernama Raden Tumenggung Surialaga (Dalem Talun) adik dari Pangeran Kornel. Tahun 1814 Raden Adipati Wiradadaha VIII diangkat kembali menjadi Bupati Sukapura. Peristiwa tersebut dikenal dengan idiom SUKAPURA NGADAUN NGORA artinya Sukapura kembali muncul. Catatan : Dalam buku sejarah Sukapura diterangkan bahwa pendeknya usia pemerintahan R.T.Surialaga karena tidak disukai rakyat Sukapura yang menginginkan kembalinya R.A.Wiradadaha VIII menjadi Bupati, namun dalam catatan sejarah Sumedang diterangkan bahwa pengangkatan R.T.Surialaga oleh Belanda bersifat sementara dimana beliau mendapat tugas menata kembali Kabupaten Sukapaura yang selama 3 tahun vakum. R.T.Surialaga sebelumnya adalah Bupati Karawang dan pernah pula menjadi Bupati Bogor dan pada waktu dipindahkan ke Sukapura beliau sudah berusia lanjut. Usai menjabat sementara Bupati Sukapura beliau langsung meminta pensiun dan tinggal di Talun Sumedang sampai akhir hayatnya sehingga disebut Dalem Talun. Membandingkan 2 catatan diatas timbul pertanyaan, mana yang benar ? Apakah ini salah satu sentimen kesejarahan antara Sukapura dengan Sumedang ?. Disertai pula idiom yang entah dari mana munculnya SUMEDANG NGARANGRANGAN, SUKAPURA NGADAUN NGORA (Sumedang berguguran, Sukapura muncul kembali). R.A.Wiradadaha VIII memiliki adik yang bernama Raden Tanuwangsa, beliau pernah ditugaskan magang di Kabupaten Sumedang mendirikan gudang-gudang penyimpanan kopi. Tidak lama kemudian beliau diangkat menjadi Patih mendampingi kakaknya dengan gelar Raden Tumenggung Danuningrat, dan atas upaya beliau Kabupaten Sukapura menerima tambahan wilayah dari Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Galuh sehingga bertambah luas serta merupakan cikal bakal Kabupaten Tasikmalaya. Sepeninggalnya R.A.Wiradadaha VIII yang menggantikan beliau bukanlah salah satu dari 14 anaknya tapi adiknya tadi yang menjadi patihnya bernama Raden Tumenggung Danuningrat dengan gelar Raden Tumenggung Wiratanubaya dari tahun 1837 sampai 1844. Beliau termasuk Bupati yang harum namanya dan sempat memindahkan ibu kota Sukapura ke wilayah yang sekarang dikenal dengan Kota Tasikmalaya, memiliki beberapa istri dan 14 anak. Catatan: Tidak ada keterangan kenapa bukan salah satu putra Wiradadaha VIII yang menggantikan posisi ayahnya sesuai tradisi, apakah ada campur tangan dari Sumedang yang dianggap Kabupaten senior oleh Belanda ? Mengingat pula R.T. Danuningrat pernah tinggal dan magang di Sumedang sehingga kedekatannya dengan Bupati Sumedang sangat berpengaruh terhadap pengangkatannya sebagai Bupati Sukapura. Putra sulung yang bernama Raden Wiradimanggala menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar yang sama yaitu Raden Tumenggung Wiratanubaya, namun pemerintahannya pendek hanya 1 tahun dari 1844 sampai 1845 karena meninggal dunia. Selanjutnya sang adik yang bernama Raden Tanuwangsa menggantikannya dengan gelar Raden Adipati Wiraadegdaha namun tahun 1875 beliau dipecat dari jabatannya karena membangkang perintah atasan dan dibuang ke Riau kemudian ke Bogor sehingga beliau disebut pula Dalem Bogor di kalangan keluarga Sukapura.. Kepemimpinan dilanjutkan oleh adik iparnya yang bernama Raden Demang Danukusuma dengan gelar Raden Tumenggung Wiradiningrat, yang kemudian karena jasa-jasanya beliau diangkat menjadi Adipati sehingga berubah nama menjadi Raden Adipati Wiradiningrat memerintah dari tahun 1875 sampai 1901. Beliau mendapat julukan Dalem Bintang, karena memperoleh penghargaan berupa bintang jasa dari Pemerintah Belanda. Berputra 20 orang dari beberapa istri dan salah satunya bernama Raden Demang Sukmamijaya yang kemudian menikah dengan salah satu putri Raden Adipati Wiraadegdaha bernama Raden Ayu Purnamasari (pernikahan antar sepupu). Dari pernikahan Raden Demang Sukmamijaya dengan Raden Ayu Purnamasari lahirlah antara lain Raden Ayu Radja Ratna/Retnadi, yang kemudian menjadi istri R.Panji Suryakusumah salah satu putra Pangeran Suria Kusumaadinata/Pangeran Sugih Bupati Sumedang dan lahirlah Raden Ma’moen yang di kemudian hari menjadi Bupati Sukabumi dengan gelar Raden Adipati Aria Soeria Danoe Ningrat. Bagan silsilah pendahulu kita dari Sukapura/Tasikmalaya: Wirawangsa/R.Tmg.Wiradadaha I Bupati Sukapura 1632-1673 ↓ R.Jayamanggala/R.Tmg.Wiradadaha II Bupati Sukapura 1673 ↓ R.Abdul ↓ R.Demang Sacapati/R.Tmg.Wiradadaha V Bupati Sukapura 1745-1747 ↓ R.Jaya Anggadireja/R.Tmg.Wiradadaha VI Bupati Sukapura 1747-1765 ↓ R.Jayamanggala/R.A.Wiratanubaya/R.A.Wiradadaha VII Bupati Sukapura 1782-1805 ↓ R.Wiratanubaya/R.Tmg.Danuningrat Bupati Sukapura 1828-1835 ↓ R.A.A.Wirahadiningrat/Dalem Bintang Bupati Sukapura 1875-1901 ↓ R.Demang Sukmaamijaya Menikah dengan R.A Purnamasari putri R.A.A Wiradadaha VIII ↓ R.A.Radja Ratna/Retnadi Menikah dengan R.Panji Suriakusumah Putra Pangeran Suria Kusumaadinata/Pangeran Sugih-Bupati Sumedang ↓ R.A.A Soeria Danoe Ningrat ↓ R. Gartidjah R. Garminah R.Gandhi Mohammad R. Gandhini R. Gartiwi R. Garmini R. Garmita R. Gartika R. Garsemi R. Goemira Swargana R. Ganda Soemaryana ↓ dst. Pada tanggal 1 Januari 1913 sebutan Kabupaten Sukapura berubah menjadi Kabupaten Tasikmalaya dan yang semula berada dibawah Karesidenan Cirebon selanjutnya berada dibawah Karesidenan Priangan, secara bertahap terjadi re-organisasi wilayah antara Kabupaten Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis dan Garut seperti kondisi sekarang. P E N U T U P Demikianlah uraian mengenai asal-muasal kita sebagai anggota keluarga besar Soeria Danoe Ningrat, bukanlah suatu kebetulan bahwa para pendahulu merupakan figur-figur penting, namun anggaplah suatu takdir yang patut kita syukuri karena dengan demikian kita relative mudah melacak siapa saja para pendahulu kita.Disamping itu dengan jabatan dan peran yang pernah diembannya bukanlah untuk disombongkan apalagi dikultuskan oleh kita semua sebagai generasi penerusnya, malahan kita harus mencontoh hal-hal yang baik dan jangan mengulangi perbuatannya yang salah. Sesungguhnya bila kita mengamati perjalanan hidup para leluhur kita, seperti ada pengulangan sejarah dengan apa yang negara kita sedang alami saat ini, intrik politik, fitnah, saling menjelekkan/menjatuhkan, ambisi kekuasaan dlsb. Masuknya kompeni Belanda dengan politik devida et impera (adu domba) tidak lain akibat ketidak waspadaan para pendahulu kita yang lebih disibukkan dengan berbagai upaya mempertahankan kekuasaannya, diperparah lagi dengan sentimen kesejarahan antar satu dinasti dengan dinasti lainnya, antar satu daerah dengan daerah lainnya. Cobalah kita merenung atau berandai-andai terhadap tindakan para pendahulu kita: seandainya Prabu Linggabuana mengikuti saran patih Borosngora untuk tidak berangkat ke Majapahit….. seandainya Prabu Nusiya Mulya bersedia memeluk agama Islam…… seandainya Prabu Geusanulun tidak membawa lari Harisbaya…… seandainya Suriadiwangsa/Rangga Gempol I tidak berangkat ke Mataram…… seandainya Rangga Gede mau menyerahkan wilayah kepada Kartajiwa…… seandainya Rangga Gempol III/Pangeran Panembahan mau mengikuti ajakan Kesultanan Banten menyerang Belanda….. dst…dst…tentu sejarah akan berkata lain. Semuanya seperti telah dirancang sedemikian rupa, sehingga merupakan takdir yang tidak dapat dihindari. Yang penting bagi diri kita selaku anggota keluarga besar Soeria Danoe Ningrat adalah menjaga nama baik para pendahulu dengan berperilaku sopan, bermasyarakat yang baik, menghindari kesombongan, menjaga keutuhan, keakraban dan kekeluargaan diantara diri kita sendiri dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Banyak yang sebenarnya iri-hati kepada kita seperti penyusun pernah rasakan dan alami, walaupun sebenarnya itu adalah sejarah masa lalu namun seperti akan diungkap lagi terutama dalam pemilihan Bupati, Legislatif yang sering membutuhkan legitimasi silsilah. Bagi generasi muda/penerus keluarga besar Soeria Danoe Ningrat penyusun lampirkan nasihat Prabu Tajimalela kepada putranya Prabu Gajah Agung, amanat atau nasihat ini lajimnya disebut AJI(an) atau ILMU KASUMEDANGAN yang menjadi dasar kepemimpinan para pendahulu kita dari Sumedang. Pepeling Prabu Tadjimalela ka putrana nu djenengan Prabu Gadjah Agung. S I N O M Soemanget kasoemedangan Tara ngoekoet kanti risi Tara reuwaseun ku bedja Sikepna titih tjaringtjing Djaoeh tina hiri dengki Njekel tetekon noe loehoeng Gagah bedas tanpa lawan A S M A RA N D H A N A Tjitjiren satria leuwih Pageuh njekelan djandjina Tara ngawangkong ngabohong Soemawonna pala tjidra Katoe bener oetjapna Kasanggoepan ana metoe Dibelaan pegat nyawa Tjitjiren satria leuwih Boga bakat toemarima Katambah leber wawanen Dina ngabelaanana Ka sasama ka doenoengan Ka sakoer noe enggeus noeloengan Koe sagala kahadean Tjitjiren satria leuwih Boga bakat karoenjaan Estoe resep mare maweh Noeloengan ka noe sangsara Melaan noe tanpa dosa Hoeripna pikeun toetoeloeng Resep kana kaadilan Tara bedegong tjirigih Teu adigoeng adigoena Estoe pahing nyeboet dewek Lemes boedi nanjoeng basa Matak soegemaeun semah Babatoeran pada loecoe Resep koe prakprakanana Tah kitoe bakat sajati Jaoeh tina pangarahan Beunang diseboet bolostrong Teu aya pikir rangkepan Oecap hade estoe broekbrak Teu nyieun boedi salingkoeh Teu hayang senang sorangan Tah kitoe piwoeroek aki Patokan kasoemedangan Babakoena handap ansor Mitoetoer kasatriaan Make doedoega prayoga Nyingkahan oejoeb takaboer Teu agoel koe kagagahan Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia: Pembukaaan Semangat kesumedangan Tidak pernah mengukur untung rugi Penuh percaya diri Tidak pernah merasa iri hati Memiliki jati diri Gagah kuat tak punya lawan/musuh Rendah hati baik budi Kesabaran adalah ilmu utamanya. Ciri seorang ksatria sejati Teguh memegang janji Tidak pernah membual membohong Sesungguhnya tiada cacat Kata-katanya dapat dipegang Mantap tidak ragu-ragu Kalau perlu nyawa jadi taruhan Ciri seorang ksatria sejati Memiliki kesadaran tinggi Ditambah keberanian Dalam membela Sesama dan atasan Kepada siapapun yang pernah menolong Dengan segala kebaikan Ciri seorang ksatria sejati Memiliki rasa belas kasihan Senang dan suka memberi Menolong mereka yang sengsara Membela mereka yang tidak berdosa Hidupnya untuk menolong orang lain Menyukai keadilan Tidak keras kepala Tidak besar kepala Pantang menonjolkan diri Berbudi dan berbahasa halus Membuat orang lain senang Handai tolan menyukainya Senang pada tindakannya Nah itulah sifat satria sejati Jauh dari ketamakan Boleh disebut apa adanya Berbicara dengan baik penuh keterbukaan Tidak mempunyai pikiran yang jelek/kotor Tidak memiliki pribadi buruk Tidak mementingkan diri sendiri Nah itulah nasihat dari aki (kakek) Ilmu dari ka-Sumedangan Intinya adalah rendah hati Dengan berjiwa satria Namun penuh kewaspadaan diri Menghindari sifat sombong dan takabur Tidak sombong dengan kekuatan yang dimiliki DAFTAR PUSTAKA 1. Atja, Drs. 1970. Ratu Pakuan. Bandung. Lembaga Bahasa dan Sedjarah Unpad. 2. Atmamihardja, Mamun, Drs, R. 1958. Sadjarah Sunda. Bandung. GANACO NV. 3. Joedawikarta 1933.. Sadjarah Soekapoera, ParakanMoencang sareng Gadjah. Bandoeng, Pengharepan. 4. Lubis, H.Nina, Dr.MS, dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. Bandung. CV. Satya Historica. 5. HermanSoemantri Emuch. 1979. Sajarah Sukapura, sebuah telaah filologis. Jakarta. Universitas Indonesia. 6. Zamhir Drs. 1996. Mengenal Museum Prabu Geusanulun serta Riwayat Leluhur Sumedang, Sumedang, Yayasan Pangeran Sumedang. 7. Sukardja, Djadja. 2003. Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s / d 1886. Ciamis. Sanggar SGB. 8. Sulendraningrat P.S.1975. Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah., Cirebon, Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon. 9. Sunardjo, Unang, R.H. Dr.s. 1983. Kerajaan Carbon 1479-1809. Bandung. PT. Tarsito. 10. Suparman. Tjetje R.H., 1981. Sajarah Sukapura.Bandung 11. Surianingrat, Bayu, Drs. 1983. Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950. Bandung,. CV.Rapico. 12. Soekardi, Yuliadi. 2004. Kian Santang. CV Pustaka Setia. 13. Soekardi, Yuliadi. 2004. Prabu Siliwangi. CV Pustaka Setia. 14. Tjangker Soedradjat, Ade. 1996. Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran Koesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578. Sumedang. Yayasan Pangeran Sumedang. 15. Widjajakusuma, Asikin, R,D, Dr. 1960. Babad Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580. Bandung. Kujang. 16. Winarno, F. G. 1990. Bogor Hari Esok Masa Lampau. Bogor. PT. Bina Hati. 17. BABAD TANAH JAWI mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647, cetakan IV 2008. PT.BUKU KITA, Yogyakarta Bagikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar