Rabu, 08 September 2010

hari raya dan sunnah rasulullah saw

HARI RAYA DAN SUNNAH RASULULLAH SHALALLAHU 'ALAIHI WASSALAM



Bismillahirohmanirrohiim,


Sungguh dalam diri Rasulullah terdapat sebaik-baik teladan bagi seluruh ummat manusia.


Sebagai kelanjutan dari Ibadah Romadhon kali ini kembali saya catat penjelasan-penjelasan Ulama tentang bagaimana Rasulullah melaksanakan Hari Raya. Catatan ini diambil dari hasil jerih payah Al Akh Abu Ayaz Rostiyan yang me-retype sebagian dari beberapa kitab ulama terkait Hari Raya di Notes nya.
Kita meyakini bahwa segala bentuk ibadah baik keyakinan, perkataan maupun perbuatan dalam Islam adalah terlarang sampai ada petunjuk dari Rasulullah, manusia mulia yang memiliki kedudukan tertinggi di sisi Allah.
Semoga Tulisan ini bermanfaat.
Semoga Allah memberikan keberkahan dari ilmu yang diamalkan, dan bukan adzab karena menyelisihi Rasul-Nya

==============
SUNNAH-SUNNAH DALAM BERHARI RAYA
MANDI SEBELUM SHALAT IED
Oleh : Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari


Dari Nafi' ia berkata : "Abdullah bin Umar biasa mandi pada hari idul Fithri sebelum pergi ke mushallah"[1]
Imam Said Ibnul Musayyib berkata :"Sunnah Idul Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi" [2].
Aku katakan : Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya para sahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka, jika tidak, maka tidak ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal demikian.


Berkata Imam Ibnu Qudamah :"Disunnahkan untuk bersuci dengan mandi pada hari raya. Ibnu Umar biasa mandi pada hari Idul Fithri dan diriwayatkan yang demikian dari Ali Radhiyallahu 'anhu. Dengan inilah Alqamah berpendapat, juga Urwah, 'Atha', An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Qatadah, Abuz Zinad, Malik, Asy-Syafi'i dan Ibnul Mundzir" [Al-Mughni 2/370]


Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi ini maka haditsnya dhaif (lemah) [3]
_________


Foote Note.


[1]. Diriwayatkan Malik 1/177, Asy-Syafi'i 73 dan Abdurrazzaq 5754 dan sanadnya Shahih


[2].Diriwayatkan Al-Firyabi 127/1 dan 2, dengan isnad yang shahih, sebagaimana dalam 'Irwaul Ghalil' 2/104]


[3]. Ini diriwayatkan dalam 'Sunan Ibnu Majah' 1315 dan dalam isnadnya ada rawi bernama Jubarah Ibnul Mughallas dan gurunya, keduanya merupakan rawi yang lemah. Diriwayatkan juga dalam 1316 dan dalam sanadnya ada rawi bernama Yusuf bin Khalid As-Samti, lebih dari satu orang ahli hadits yang menganggapnya dusta (kadzab).


BERPENAMPILAN INDAH PADA HARI RAYA


Dari Ibnu Umar Radhliallahu 'anhuma ia berkata : Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata :"Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian (di akhirat-pent)'. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : 'Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : 'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian', dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya". [1]


Berkata Al-Allamah As-Sindi."Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini". [Hasyiyah As Sindi 'alan Nasa'i 3/181].


Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata."Ibnu Abi Dunya dan Al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fithri dan Idul Adha".[Fathul Bari 2/439]


Beliau juga menyatakan :"Sisi pendalilan dengan hadist ini adalah takrir-nya (penetapan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Umar berdasarkan asal memperbagus penampilan itu adalah untuk hari Jum'at. Yang beliau ingkari hanyalah pemakaian perhiasan semisal itu karena ia terbuat dari sutera". [Fathul Bari 2/434].


Dalam 'Al-Mughni' (2/228) Ibnu Qudamah menyatakan :"Ini menunjukkan bahwa membaguskan penampilan di kalangan mereka pada saat-saat itu adalah masyhur".


Malik berkata :"Aku mendengar ulama menganggap sunnah untuk memakai wangi-wangian dan perhiasan pada setiap hari raya".


Berkata Ibnul Qayyim dalam "Zadul Ma'ad" (1/441)."Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah[2], namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman".


_________


Foote Note


[1]. Hadits Riwayat Bukhari 886,948,2104,2169, 3045, 5841,5891 dan 6081. Muslim 2068, Abu Daud 1076. An-Nasaa'i 3/196 dan 198. Ahmad 2/20,39 dan 49


[2]. Lihat "Silsilah As-Shahihah 1279
______________________________


SHALAT ID TANPA AZAN DAN IQAMAH


Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu ia berkata :"Aku pernah shalat dua hari raya bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari sekali dua kali, tanpa dikumandangkan azan dan tanpa iqamah"[1]
Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu 'anhum berkata :"Tidak pernah dikumandangkan azan (untuk shalat Ied -pent) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha" [2]


Berkata Ibnul Qayyim :"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila tiba di mushalla (tanah lapang), beliau memulai shalat tanpa azan dan tanpa iqamah, dan tidak pula ucapan "Ash-Shalatu Jami'ah". Yang sunnah semua itu tidak dilakukan. [3]


Imam As-Shan'ani berkata dalam memberi komentar terhadap atsar-atsar dalam bab ini :"Ini merupakan dalil tidak disyariatkannya azan dan iqamah dalam shalat Ied, karena (mengumandangkan) azan dan iqamah dalam shalat Ied adalah bid'ah" [Zaadul Ma'ad 1/442]


[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, hal. 23-24, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________


Foote Note.


[1]. Riwayat Muslim 887, Abu Daud 1148 dan Tirmidzi 532


[2]. Riwayat Muslim 887, Abu Daud 1148 dan Tirmidzi 532


[3]. Zaadul Ma'ad 1/442


_______________________


WAKTU PELAKSANAAN SHALAT IED


Abdullah bin Busr sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul Fithri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata : "Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih"[1]


Ini riwayat yang paling shahih[2] dalam bab ini, diriwayatkan juga dari selainnya akan tetapi tidak tsabit dari sisi isnadnya.


Berkata Ibnul Qayyim :"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fithri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit" [Zadul Ma'ad 1/442]


Shiddiq Hasan Khan menyatakan :"Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah setelah tingginya matahari seukuran satu tombak sampai tergelincir. Dan terjadi ijma (kesepatakan) atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits, sekalipun tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya adalah saat tergelincir matahari" [Al-Mau'idhah Al-Hasanah 43,44]


Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi :Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama, shalat Idul Adha dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih hewan-hewan kurban mereka, sedangkan shalat Idul Fithri diakhirkan agar manusia dapat mengeluarkan zakat Fithri mereka" [Minhajul Muslim 278]


Peringatan :Jika tidak diketahui hari Id kecuali pada akhir waktu maka shalat Id dikerjakan pada keesokan paginya.


Abu Daud 1157, An-Nasa'i 3/180 dan Ibnu Majah 1653 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu) kemarin, maka Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla mereka keesokan paginya"


[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, hal. 23-24, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
________


Foote Note.


[1]. Yakni waktu shalat sunnah, ketika telah lewat waktu diharamkannya shalat. lihat Fathul Bari 2/457 dan An-Nihayah 2/331


[2]. Bukhari menyebutkan hadits ini secara muallaq dalam shahihnya 2/456 dan Abu Daud meriwayatkan secara bersambung 1135, Ibnu Majah 1317, Al-Hakim 1/295 dan Al-Baihaqi 3/282 dan sanadnya Shahih
_____________________________________


UCAPAN SELAMAT PADA HARI IED


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [1] :"Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :


Taqabbalallahu minnaa wa minkum ("Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian")


Dan ( Ahaalallahu 'alaika), dan sejenisnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya, akan tetapi Imam Ahmad berkata : Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a'lam.[2]


Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar[3] :"Dalam "Al Mahamiliyat" dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :


"Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)".


Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : "Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka


Imam Ahmad menyatakan : "Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)" [4]


Adapun ucapan selamat : (Kullu 'aamin wa antum bikhair) atau yang semisalnya seperti yang banyak dilakukan manusia, maka ini tertolak tidak diterima, bahkan termasuk perkara yang disinggung dalam firman Allah."Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik.?"


[Disalin dari buku Ahkaamu Al Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________


Foote Note


[1]. Majmu Al-Fatawa 24/253


[2]. Al Jalal As Suyuthi menyebutkan dalam risalahnya " Wushul Al Amani bi Ushul At Tahani" beberapa atsar yang berasal lebih darisatu ulama Salaf, di dalamnya ada penyebutan ucapan selamat


[3]. Fathul Bari 2/446[4]. Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam 'Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan
_________________________________


TATA CARA SHALAT IED


Pertama :Jumlah raka'at shalat Ied ada dua berdasaran riwayat Umar radhiyallahu 'anhu.


"Shalat safar itu ada dua raka'at, shalat Idul Adha dua raka'at dan shalat Idul Fithri dua raka'at. dikerjakan dengan sempurna tanpa qashar berdasarkan sabda Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [Dikeluarkan oleh Ahmad 1/370, An-Nasa'i 3/183, At-Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Al Atsar 1/421 dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya Shahih]


Kedua :Rakaat pertama, seperti halnya semua shalat, dimulai dengan takbiratul ihram, selanjutnya bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua bertakbir sebanyak lima kali, tidak termasuk takbir intiqal (takbir perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain,-pent)


Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata :"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Idul Fithri dan Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku" [1]


Berkata Imam Al-Baghawi :"Ini merupakan perkataan mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang setelah mereka, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada rakaat pertama shalat Ied sebanyak tujuh kali selain takbir pembukaan, dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali selain takbir ketika berdiri sebelum membaca (Al-Fatihah). Diriwayatkan yang demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali, dan selainnya" [Ia menukilkan nama-nama yang berpendapat demikian, sebagaimana dalam " Syarhus Sunnah 4/309. Lihat 'Majmu' Fatawa Syaikhul Islam' 24/220,221]


Ketiga :Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan mengucapkan takbir-takbir shalat Ied[2] Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata : "Ibnu Umar -dengan semangat ittiba'nya kepada Rasul- mengangkat kedua tangannya ketika mengucapkan setiap takbir" [Zadul Ma'ad 1/441]


Aku katakan : Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.


Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam "Tamamul Minnah" hal 348 :"Mengangkat tangan ketika bertakbir dalam shalat Ied diriwayatkan dari Umar dan putranya -Radhiyallahu anhuma-, tidaklah riwayat ini dapat dijadikan sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di sini tidak shahih.


Adapun dari Umar, Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang dlaif (lemah). Sedangkan riwayat dari putranya, belum aku dapatkan sekarang"


Dalam 'Ahkmul Janaiz' hal 148, berkata Syaikh kami (guru kami yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullahu ta'ala) :"Siapa yang menganggap bahwasanya Ibnu Umar tidak mengerjakan hal itu kecuali dengan tauqif dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka silakan ia untuk mengangkat tangan ketika bertakbir".


Keempat :Tidak shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam satu dzikir tertentu yang diucapkan di antara takbir-takbir Ied. Akan tetapi ada atsar dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu [3] tentang hal ini. Ibnu Mas'ud berkata :"Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah Azza wa Jalla"


Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah :"(Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) diam sejenak di antara dua takbir, namun tidak dihapal dari beliau dzikir tertentu yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut".


Aku katakan : Apa yang telah aku katakan dalam masalah mengangkat kedua tangan bersama takbir, juga akan kukatakan dalam masalah ini.


Kelima :Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat lain membaca surat Al-Qamar[4] Terkadang dalam dua rakaat itu beliau membaca surat Al-A'la dan surat Al-Ghasyiyah[5]


Berkata Ibnul Qaooyim Rahimahullah :"Telah shahih dari beliau bacaan surat-surat ini, dan tidak shahih dari belaiu selain itu"[6]


Keenam :(Setelah melakukan hal di atas) selebihnya sama seperti shalat-shalat biasa, tidak berbeda sedikitpun. [7]


Ketujuh :Siapa yang luput darinya (tidak mendapatkan) shalat Ied berjama'ah, maka hendaklah ia shalat dua raka'at.


Dalam hal ini berkata Imam Bukhari Rahimahullah dalam "Shahihnya" :"Bab : Apabila seseorang luput dari shalat Id hendaklah ia shalat dua raka'at" [Shahih Bukhari 1/134, 135]


Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam "Fathul Bari" 2/550 berkata setelah menyebutkan tarjumah ini (judul bab yang diberi oleh Imam Bukhari di atas).


Dalam tarjumah ini ada dua hukum :Disyariatkan menyusul shalat Ied jika luput mengerjakan secara berjamaah, sama saja apakah dengan terpaksa atau pilihan.


Shalat Id yang luput dikerjakan diganti dengan shalat dua raka'atBerkata Atha' : "Apabila seseorang kehilangan shalat Ied hendaknya ia shalat dua rakaat" [sama dengan di atas]


Al-Allamah Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan :"Ini adalah madzhabnya Syafi'i, yaitu jika seseorang tidak mendapati shalat Ied bersama imam, maka hendaklah ia shalat dua rakat, sehingga ia mendapatkan keutamaan shalat Ied sekalipun luput darinya keutamaan shalat berjamaah dengan imam".


Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadla[8] untuk shalat Ied. Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekali"[9]


Berkata Imam Malik dalam 'Al-Muwatha' [10]"Setiap yang shalat dua hari raya sendiri, baik laki-lai maupun perempuan, maka aku berpendapat agar ia bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali sebelum membaca (Al-Fatihah) dan lima kali pada raka'at kedua sebelum membaca (Al-Fatihah)"


Orang yang terlambat dari shalat Id, hendaklah ia melakukan shalat yang tata caranya seperti shalat Id. sebagaimana shalat-shalat lain [Al-Mughni 2/212]


Kedelapan :Takbir (shalat Ied) hukumnya sunnah, tidak batal shalat dengan meninggalkannya secara sengaja atau karena lupa tanpa ada perselisihan [11] Namun orang yang meninggalkannya -tanpa diragukan lagi- berarti menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
_________


Foote Note.


[1]. Riwayat Abu Daud 1150, Ibnu Majah 1280, Ahmad 6/70 dan Al-Baihaqi 3/287 dan sanadnya Shahih. Peringatan : Termasuk sunnah, takbir dilakukan sebelum membaca (Al-Fatihah). sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud 1152, Ibnu Majah 1278 dan Ahmad 2/180 dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, kakeknya berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Id tujuh kali pada rakaat pertama kemudian beliau membaca syrat, lalu bertakbir dan ruku' , kemudian beliau sujud, lalu berdiri dan bertakbir lima kali, kemudian beliau membaca surat, takbir lalu ruku', kemudian sujud". Hadits ini hasan dengan pendukung-pendukungnya. Lihat Irwaul Ghalil 3/108-112. Yang menyelisihi ini tidaklah benar, sebagaimana diterangkan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad 1/443,444


[2]. Lihat Irwaul Ghalil 3/112-114


[3]. Diriwayatkan Al-Baihaqi 3/291 dengan sanad yang jayyid (bagus)


[4]. Diriwayatkan oleh Muslim 891, An-Nasa'i 8413, At-Tirmidzi 534 Ibnu Majah 1282 dari Abi Waqid Al-Laitsi radhiyallahu 'ahu.


[5]. Diriwayatkan oleh Muslim 878, At-Tirmidzi 533 An-Nasa'i 3/184 Ibnu Majah 1281 dari Nu'man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu.


[6]. Zadul Ma'ad 1/443, lihat Majalah Al-Azhar 7/193. Sebagian ahli ilmu telah berbicara tentang sisi hikmah dibacanya surat-usrat ini, lihat ucapan mereka dalam 'Syarhu Muslim" 6/182 dan Nailul Authar 3/297


[7]. Untuk mengetahui hal itu disertai dalil-dalilnya lihat tulisan ustadz kami Al-Albani dalam kitabnya 'Shifat Shalatun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kitab ini dicetak berkali-kali. Dan lihat risalahku 'At-Tadzkirah fi shifat Wudhu wa Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, risalah ringkas.


[8]. Tidak dinamakan ini qadla kecuali jika keluar dari waktu shala secara asal.


[9]. Syarhu Tarajum Abwabil Bukhari 80 dan lihat kitab Al-Majmu 5/27-29[


10].Al Muwatho oleh Imam Malik bin Anas Nomor : 592 -dengan riwayat Abi Mush'ab.


[11]. Al-Mughni 2/244 oleh Ibnu Qudamah
____________________________________


KAPAN DISUNAHKAN MAKAN PADA HARI IDUL FITRI DAN IDUL ADHA ?


Dari Anas Radliallahu anhu, ia berkata :"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pergi (ke tanah lapang) pada hari Idul Fitri hingga beliau makan beberapa butir kurma".[1]


Berkata Imam Al Muhallab :"Hikmah makan sebelum shalat (Idul Fithri) adalah agar orang tidak menyangka masih diharuskan puasa hingga dilaksankan shalat Id, seolah-olah beliau ingin menutup jalan menuju ke sana" [Fathul Bari 2/447, lihat di dalam kitab tersebut ucapan penulis tentang hikmah disunahkannya makan kurma]


Dari Buraidah Radliallahu anhu ia berkata :"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga beliau makan, sedangkan pada hari Raya Kurban beliau tidak makan hingga kembali (dari mushalla) lalu beliau makan dari sembelihannya" [2]


Al-Allamah Ibnul Qoyyim berkata :"Adapun dalam Idul Adha, beliau tidak makan hingga kembali dari Mushalla, lalu beliau makan dari hewan kurbannya" [Zadul Ma'ad 1/441]


Al-Alamah Asy Syaukani menyatakan[3] :"Hikmah mengakhirkan makan pada Idul Adha adalah karena hari itu disyari'atkan menyembelih kurban dan makan dari kurban tersebut, maka bagi orang yang berkurban disyariatkan agar berbukanya (makan) dengan sesuatu dari kurban tersebut. Ini dikatakan oleh Ibnu Qudamah" [Lihat Al-Mughni 2/371]


Berkata Az-Zain Ibnul Munayyir[4] :"Makanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada masing-masing Id (Idul Fithri dan Idul Adha) terjadi pada waktu disyariatkan untuk mengeluarkan sedekah khusus dari dua hari raya tersebut, yaitu mengeluarkan zakat fithri sebelum datang ke mushalla dan mengeluarkan zakat kurban setelah menyembelihnya".
_________


Foote Note


[1]. Hadits Riwayat Bukhari 953, Tirmidzi 543, Ibnu Majah 1754 dan Ahmad 3/125, 164, 232


[2]. Diriwayatkan Tirmidzi 542, Ibnu Majah 1756, Ad-Darimi 1/375 dan Ahmad 5/352 dan isnadnya hasan


[3]. Dalam Nailul Authar 3/357


[4]. Lihat Fathul Bari 2/448
________________________________


KELUAR MENUJU MUSHALLA [TANAH LAPANG YANG DIGUNAKAN UNTUK SHALAT IED]


Dari Abu Said Al Khudri Radliallahu 'anhu, ia berkata :
" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, maka pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat ..." [Hadits Riwayat Bukhari 956, Muslim 889 dan An-Nasaa'i 3/187]


Berkata Al-Alamah Ibnul Hajj Al Maliki :"Sunnah yang telah berlangsung dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah di mushalla (tanah lapang), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :


"Shalat di masjidku ini (masjid Nabawi -pen) lebih utama dari seribu shalat yang dilaksanakan di masjid lainnya kecuali masjid Al-Harram". [Hadits Riwayat Bukhari 1190 dan Muslim 1394]Kemudian, walaupun ada keutamaan yang besar seperti ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap keluar ke mushalla (tanah lapang) dan meninggalkan masjidnya. [Al-Madkhal 2/283].


Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyatakan, [Al-Mughni 2/229-230] :"Sunnah untuk melaksanakan shalat Id di tanah lapang, Ali Radliallahu 'anhu memerintahkan yang demikian dan dianggap baik oleh Al-Auza'i dan Ashabur Ra'yi. Inilah ucapan Ibnul Mundzir.[1]


Siapa yang tidak mampu untuk keluar ke tanah lapang karena sakit atau umur tua, boleh shalat di masjid dan tidak ada dosa baginya Insya Allah. [Al-Mughni 2/229-230].


Di sini harus diberikan peringatan bahwa tujuan dari pelaksanaan Shalat Id di tanah lapang adalah agar terkumpul kaum muslimin dalam jumlah yang besar di satu tempat.


Namun yang kita lihat pada hari ini di banyak negeri berbilangannya mushalla (tanah lapang yang digunakan untuk shalat Id) meski tidak ada kebutuhan. Ini merupakan perkara makruh yang telah diperingatkan oleh ulama. [Lihat Nihayah Al Muhtaj 2/375 oleh Ar-Ramli].


Bahkan sebagian mushalla telah menjadi mimbar-mimbar hizbiyyah untuk memecah belah persatuan kaum muslimin.


Tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah.
_________________________


MENGAMBIL JALAN YANG BERLAINAN KETIKA PERGI DAN KEMBALI DARI MUSHOLLA


Dari Jabir bin Abdillah Radliallahu 'anhu, ia berkata :"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari raya biasa mengambil jalan yang berlainan (ketika pergi dan ketika kembali dari mushalla-pen)" [Hadits Riwayat Bukhari 986].


Berkata Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah :"Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengambil jalan yang berbeda pada hari raya. Beliau pergi ke mushalla melewati satu jalan dan kembali dengan melewati jalan lain. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya adalah agar beliau dapat memberi salam kepada orang-orang yang berada di dua jalan itu. Ada yang mengatakan : Agar mendapatkan barakahnya dua jalan yang berbeda. Ada pula yang mengatakan : Agar beliau dapat memenuhi hajat orang yang butuh pada beliau di dua jalan itu. Ada pula yang mengatakan tujuannya agar dapat menampakkan syi'ar Islam .... Dan ada yang mengatakan -inilah yang paling benar- : Beliau melakukan perbuatan itu untuk semua tujuan tersebut dan hikmah-hikmah lain yang memang perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak kosong dari hikmah". [Zadul Ma'ad 1/449].


Imam Nawawi rahimahullah setelah menyebutkan perkataan-perkataan di atas, beliau mengomentari : " Kalau pun tidak diketahui apa sebabnya beliau mengambil jalan yang berbeda, disunahkan untuk meneladaninya secara pasti, wallahu a'lam". [Raudlatuh Thalibin 2/77]. Lihat ucapan Imam Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/314).


Dua Peringatan :


Pertama.


Berkata Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/302-303) : "Disunnahkan agar manusia berpagi-pagi (bersegera) ke mushalla (tanah lapang) setelah melaksanakan shalat shubuh untuk mengambil tempat duduk mereka dan mengumandangkan takbir. Sedangkan keluarnya imam adalah pada waktu akan ditunaikannya shalat".


Kedua.At-Tirmidzi meriwayatkan (530) dan Ibnu Majah (161) dari Ali Radliallahu 'anhu bahwa ia berkata : "Termasuk sunnah untuk keluar menunaikan shalat Id dengan jalan kaki". [Dihasankan oleh Syaikh kami Al-Albani dalam "Shahih Sunan Tirmidzi"].
_________


Foote Note


[1]. Untuk mengetahui dalil-dalil permasalahan ini secara mendetail, disertai bantahan terhadap syubhat orang-orang yang menyelisihi, silakan merujuk pada tulisan Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam "Syarhu Sunan Tirmidzi " (2/421-424). Dan Ustadz kami Al-Albani memiliki risalah tersendiri yang berjudul "Shalat Al-Iedain fii Mushalla Kharijal Balad Hiya Sunnah" cetakan Damaskus, silakan melihatnya, karena risalah tersebut sangat berharga


[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii Al Sunnah Al-Muthahharah, edisi Idonesia Hari Raya Bersama Rasulullah. terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
___________________________________


SHALAT 'IED DI TANAH LAPANG ADALAH SUNNAT


Oleh : Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul


Disunnahkan bagi imam atau wakilnya untuk berangkat menunaikan shalat 'Ied di tanah lapang dan tidak ke masjid, kecuali karena alasan tertentu. [1]


Dan dikecualikan dari demikian yaitu yang berdiam di Makkah yang semoga Allah tambahkan padanya kemuliaan. Oleh karena itu tidak pernah sampai kepada kita satu (riwayat) pun dari pendahulu mereka, bahwa mereka shalat kecuali di masjid mereka (Masjidil Haram) [2]


Dan dalil shalat dua hari raya di lapangan diantaranya :[1]. Riwayat yang telah lewat pada hadits Ummu 'Athiyyah mengenai perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar keluar (shalat) ke lapangan.[2]. Riwayat yang datang dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika keluar (shalat) di hari Raya, beliau menyuruh menancapkan tombak, lalu meletakkannya di antara tangannya, lalu ia shalat menghadapnya dan para sahabat (mengikuti) di belakangnya. Hal ini dilakukannya sewaktu bepergian, kemudian para pemimpin mengikuti (sunnah) tersebut.


Dalam riwayat lain, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menancapkan tombak di depannya pada 'Iedul Fithri dan 'Iedul Adha kemudian beliau shalat.


Dan dalam riwayat lain :"Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat shalat ke lapangan, dan tombak kecil ada ditangannya, ia membawa dan menancapkannya di lapangan, lalu ia shalat menghadapnya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim].[3]
_________


Foote Note


[1]. Syarhus Sunnah (IV/294)


[2]. Al-Umm oleh Imam Asy-Syafi'i (1/234)


[3]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam beberapa tempat. Beberapa lafazh dan riwayat pada beberapa tempat berikut ini dalam Kitaabush Shalaah, bab Sutratul Imaam Sutratu Man Khalfahu, (hadits no. 494), dalam Kitaabul 'Iedain, bab Ash-Shalaah Ilal Harbati Yaumal 'Ied, (hadits no. 972) dan dalam bab Hamlil Anazah Awil Harbah Baina Yadayil Imaam Yaumal 'Ied, (hadits no. 973). Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitaabush Shalaah, bab Sutratul Mushalli, (hadits no. 501).


PenjelasanAl-'Alamah Muhammad Nashruddin Al-Albani rahimahullah memiliki risalah (buku) mengenai permasalahan ini, demikian pula Syaikh Ahmad Muhammad Syair telah membahas tentang shalat 'Ied di lapangan dan tentang keluarnya wanita ke lapangan, ia memasukkan pembahasan tersebut berserta tahqiqnya untuk kitab Sunan At-Tirmidzi (2/421-424)


[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi' Fii Shalaatit Tathawwu', edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
salam_sitijamilahamdi

oleh Muhammad Arie Ariandhana

Diposkan oleh fajar islami di 14.49

Rabu, 11 Agustus 2010

amalan di bulan ramadhan..

Seputar Kesalahan di Bulan Ramadhan


Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi terakhir beserta keluarga dan para sahabatnya.

Makalah ini merupakan kumpulan beberapa kesalahan yang menyebar di tengah-tengah kaum muslimin. Penulis harap makalah ini bisa menjadi peringatan bagi yang lupa dan lalai, serta nasehat bagi kalangan awam. Penulis sengaja menyusun makalah ini dengan ringkas. Kita memohon kepada Allah ta’ala agar menjadikan tulisan ini bermanfaat. Maha suci Allah, sebaik-baik dan seagung-agung Dzat yang dimintai dan ditujukan harapan.


Berikut ini beberapa kesalahan tersebut:

[1]. Tidak mengerjakan shalat, kecuali (hanya -ed) di Bulan Ramadhan.

Ini merupakan kesalahan paling fatal dan dosa paling buruk. Barangsiapa meninggalkan shalat setelah bulan Ramadhan, berarti telah menghancurkan bangunannya dan menguraikan benang yang sudah dipintal dengan kuat. Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا

Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. (Qs. an-Nahl: 92)

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.

(Batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim)

Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

Perjanjian antara kami (kaum muslimin) dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya, ia telah kafir. (HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Namun, sungguh mengherankan, ada yang berpuasa, tetapi tidak shalat. Padahal, orang yang tidak shalat tidak mendapat kewajiban berpuasa. Mengapa? Ini karena dia kafir, sebagaimana dalam hadits di atas, juga sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa syarat (diterimanya-ed) seluruh ibadah adalah Islam.

[2]. Lalai dari tujuan utama puasa dan hikmah-hikmahnya.

Puasa memiliki maksud dan tujuan, di antaranya adalah apa yang disebutkan Allah ta’ala dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Qs. al-Baqarah: 183)

Tujuan puasa adalah ketakwaan, bukan hanya sekedar menahan diri dari makanan, minuman dan nafsu, karena Allah ta’ala tidak butuh puasa seperti ini, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.

Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan keji dan dusta, serta melakukannya, Allah tidak butuh dengan puasanya. (HR. al-Bukhari)

Bahkan puasa yang benar dapat mencegah perbuatan maksiat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ.

Puasa bagaikan perisai, janganlah berkata keji dan kotor dengan berbuat jahil… (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Terkadang Anda melihat sebagian orang berpuasa, tetapi tidak meninggalkan perbuatan haram, seperti kedzaliman, permusuhan, hasad, dengki, ghibah dan namimah (menggunjing orang dan mengadu domba), serta perkataan jorok dan kotor.

Di antara tujuan puasa:

a. Meraih pahala yang besar dan memperoleh ganjaran yang banyak, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi, bahwa Allah berfirman:

الصِّيَامُ لِي، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ.

Puasa itu untuk-Ku. Aku yang akan memberikannya pahala. (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Ini menunjukkan besarnya pemberian, karena Allah yang Maha Mulia, apabila menyatakan “Aku yang memberikannya secara langsung”, menunjukkan besarnya pemberian.

b. Penghapus dosa. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. (HR. Muttafaqun ‘alaih)

c. Membiasakan taat kepada perintah Allah ta’ala, dan perintah Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam dan berlatih meninggalkan hal-hal yang disukai untuk meraih ridha Allah ta’ala.

Hikmah puasa:

1. Merasakan sakitnya lapar dan haus. Dengan ini, kita menjadi tidak melupakan fakir miskin.

2. Mempersempit ruang gerak setan, karena setan bergerak pada aliran darah manusia, sebagaimana yang pernah disampaikan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bahwa apabila seorang hamba berpuasa, urat-uratnya akan mempersempit gerak setan sehingga pengaruh dan bisikannya menjadi lemah.

Laa ilaaha illallah, betapa banyak hikmah dan rahasia di balik puasa yang kita lalaikan. Segala puji bagi Allah yang mensyariatkannya sebagai rahmat bagi hamba-hambanya, sebagai perbuatan baik bagi mereka, dan sebagai pelindung dari keburukan.

[3]. Memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, dengan berbagai amalan seperti sedekah, shalat, mengaji dan berbagai macam ketaatan lainnya di bulan Ramadhan, tetapi dia jauh dari semua itu pada selain bulan Ramadhan.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Qs. al-Baqarah: 21)

Dan sebagaimana Nabi Isa ‘alahi sallam berkata:

وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا

Dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. (Qs. Maryam: 31)

Dan Allah berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (Qs. al-Hijr: 99)

Sebagian salaf berkata: Sejelek-jelek kaum adalah yang tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan.

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ.

Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus walaupun sedikit. (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Sebagian orang antusias dalam ketaatan pada permulaan bulan, kemudian melemah dipertengahan atau akhir bulan.

[4]. Berpaling dari mempelajari hukum-hukum puasa, adab, syarat dan pembatal-pembatalnya, dengan tidak menghadiri majlis-majlis ta’lim, tidak bertanya tentang masalah puasa. Dalam hal ini, dia berpuasa dalam keadaan jahil (bodoh-ed), atau mungkin melakukan perbuatan yang dapat membatalkan puasanya, sedangkan dia tidak mengetahuinya.

Allah ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. (Qs. an-Nahl: 43)

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

Barangsiapa melakukan amalan yang tidak didasari perintah kami, amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim)

Dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

Menuntut ilmu adalah kewajban bagi setiap muslim. (HR. al-Baihaqi)

[5]. Menyia-nyiakan waktu puasa dan malam harinya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan terkadang dengan sesuatu yang haram atau membahayakan.

Sebagian orang banyak tidur di siang hari dan tidaklah bangun kecuali menjelang berbuka puasa. Padahal, barangsiapa banyak tidur, dia terluput dari berbagai macam kebaikan. Sebagian lainnya, menghabiskan waktunya dengan menonton sinetron dan telenovela yang di dalamnya banyak wanita yang bertabarruj serta pemandangan yang menyelisihi adab dan syariat. Yang lainnya lagi, tidak meninggalkan berbagai pertandingan dan permainan bahkan mungkin saling bertaruhan sehingga termasuk judi yang diharamkan. Ada pula yang begadang dengan bermain kartu atau ngobrol yang tidak bermanfaat sehingga terjatuh pada sesuatu yang haram seperti ucapan kotor, ghibah dan namimah. Ada juga yang begadang dengan bernyanyi mempergunakan alat musik di bulan Qur’an! Yang lainnya, ada yang mondar-mandir di mall-mall atau jalanan. Di sisi lain, tidak sedikit ditemui banyak wanita tidur sampai siang hari kemudian bangun mengerjakan tugas rumah dan dapur sampai maghrib kemudian setelah berbuka puasa sibuk mendatangi dan duduk-duduk di mall-mall sampai larut malam.

Apa yang mereka ambil dari kebaikan bulan Ramadhan?
Apa yang mereka peroleh dari waktu-waktunya?
Di mana mereka dari petunjuk Rasulullah di bulan yang penuh berkah ini?

Padahal, beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersungguh-sungguh beribadah di bulan ini, melebihi kesungguhan beliau di bulan-bulan lainnya. Malaikat Jibril ‘alahi sallam memuroja’ahkan al-Qur`an kepada beliau setiap malam. Beliau beri’tikaf di masjid dan berpaling dari urusan dunia pada sepuluh hari terakhir dan sangat dermawan di bulan ini, serta menguatkan kaum muslimin untuk mengasihi para janda dan anak yatim, menyambung silaturrahim, memuliakan tetangga dan berbagai macam ketaatan lainnya.

Demikianlah seorang muslim hendaknya meneladani Rasulnya shallallahu ‘alahi wa sallam, sehingga memperbanyak membaca al-Qur’an, mentadabburi maknanya dan membaca tafsirnya, karena tidaklah cukup seorang yang telah baligh dan mukallaf itu hanya sekadar membaca tanpa mengetahui maknanya. Antusiaslah dalam mengikuti pelajaran dan majlis al-Qur’an dan al-Hadits! Dengarkanlah kaset yang bermanfaat! Bacalah kitab-kitab fiqih dan hadits! Bersungguh-sungguhlah dalam amal shalih, kebaikan dan ketakwaan! Ini bukan hanya sekadar di bulan Ramadhan. Akan tetapi, di bulan Ramadhan ini hendaknya seorang mukmin memperbanyak amalannya.

[6]. Memperbanyak makanan dan minuman serta berlebih-lebihan dengan beraneka ragam jenis makanan yang dapat menyebabkan seseorang menjadi kurang baik pencernaannya sehingga merasa berat untuk beribadah dan malas shalat dan membaca Al-Qur’an.

Ada yang mengatakan bahwa barangsiapa makan, minum dan tidurnya banyak, dia luput dari berbagai macam kebaikan. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

مَا مَلأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسَبِ ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ فَاعِلاً فَثُلُثُ لِطَعَامِهِ وَثُلُثُ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ.

Tidak ada tempat paling buruk yang dipenuhi isinya oleh manusia kecuali perutnya, karena sebenarnya cukup baginya beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Kalaupun dia ingin makan, hendaknya ia atur dengan cara sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya. (HR. Ahmad, an-Nasa`i dan at-Tirmidzi) [Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2265]

Sebagian salaf berkata, “Allah menggabungkan seluruh kesehatan pada separuh ayat yaitu firman Allah ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا

Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. (Qs. Al-A’raf: 31)

Barangsiapa berlebih-lebihan dalam makan dan minum, dia telah lalai dari salah satu hikmah puasa yaitu menghindarkan tubuh dari pengaruh makanan dan minuman yang bisa memberatkan tubuh.

[7]. Meng-awalkan waktu sahur dan meng-akhirkan berbuka puasa.

Ini menyelisihi apa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, yang beliau ini selalu mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفُطُوْرُ.

Manusia senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka. (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam mengkabarkan bahwa mengakhirkan berbuka adalah perbuatan Yahudi. Ketika menyemangati kaum muslimin untuk menyegerakan berbuka, beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

فَإِنَّ الْيَهُوْدَ يُؤَخِّرُوْنَ.

Sesungguhnya orang-orang Yahudi selalu mengakhirkan (berbuka puasa). (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih)

Adapun mengakhirkan sahur adalah sunnah, sebagaimana dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, (beliau) berkata:

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ . قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَالسَّحُوْرِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً.

Kami sahur bersama Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, kemudian beliau bangkit menuju shalat, aku bertanya, ‘Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur?’ Dia menjawab, ‘Kira-kira lima puluh ayat.’ (HR. al-Bukhari)

Ada sebagian orang yang meninggalkan sahur dan makan ditengah malam. Hal ini sesungguhnya tidak sesuai dengan sunnah. Dari Abi Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

السُّحُورُ كُلُّهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ.

Sahur itu penuh dengan barakah. Maka, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya dengan seteguk air, (karena) sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bershalawat kepada orang-orang yang sahur. (HR. Ahmad dengan sanad hasan)

[8]. Berpaling dari Memahami dan Mentadabburi Al-Qur’an.

Kebanyakan kaum muslimin membaca al-Qur’an dengan tidak memahami apa yang mereka baca. Bahkan, ketika terlintas hukum-hukum syar’iyah, dalil-dalil Qur’aniyyah, nasehat-nasehat yang agung dan perumpamaan-perumpamaan yang jelas, dia tidak mengetahui apa yang melintasinya. Dia tidak pula mengetahui makna kitab Allah yang turun kepadanya. Allah ta’ala berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat petunjuk. (Qs. Shad: 29)

Allah ta’ala mencela orang-orang yang berpaling dari mentadabburi al-Qur’an dalam firman-Nya:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci? (Qs. Muhammad: 24)

Allah ta’ala berfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Apakah mereka tidak menghayati Al-Qur’an? Seandainya ( Al-Qur’an) itu bukan dari sisi Allah, pastilah mereka mendapat banyak hal yang bertentangan di dalamnya. (Qs. an-Nisa’: 82)

Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya ini merupakan sifat kebanyakan orang Yahudi, Allah ta’ala berfirman:

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. (Qs. al-Baqarah: 78)

Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Maksud firman-Nya ( لا يعلمون الكتاب ) adalah tidak mengetahui apa-apa yang ada di dalam kitab yang diturunkan oleh Allah, dan tidak mengetahui apa-apa yang Allah tetapkan dari batasan, hukum dan kewajiban seperti kondisi para binatang.”

Abu Abdirrahman as-Sulami berkata, “Orang-orang yang membacakan Al-Qur’an kepada kami telah memberitakan bahwasanya apabila mereka mempelajari sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sampai mengetahui kandungan ilmu lalu mengamalkannya”. Beliau berkata, “Kami mempelajari al-Qur’an, ilmu dan mengamalkannya.”

[9]. Kebanyakan orang tua melalaikan anak-anaknya.

Mereka tidak menganjurkan anak-anaknya berpuasa dengan berdalih mereka masih kecil, masih belum mampu berpuasa. Perbuatan ini menyelisihi salaf as-shalih dari kalangan para sahabat dan setelahnya. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ar-Rabi’ binti Mu’awidz berkata:

فَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ، حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ اْلإِفْطَارِ.

Kami berpuasa dan memerintahkan anak-anak kecil kami berpuasa. Kami membuatkan mereka mainan dari bulu. Maka, apabila mereka menangis karena lapar, kami berikan mainan itu kepadanya, sampai tiba waktu berbuka.

Dalam riwayat Muslim:

فَإِذَا سَأَلُوْا الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُمُ اللُّعْبَةَ تُلْهِيْهِمْ حَتَّى يُتِمُّوْا صَوْمَهُمْ.

Apabila mereka meminta makan, kami berikan mainan yang dapat menyibukkannya sehingga mereka dapat menyempurnakan puasanya.

Maksudnya: Mereka membiasakan anak-anaknya berpuasa dan menyibukkan anak-anaknya dengan mainan dari bulu. Mereka melakukan hal itu sebagai upaya melatih anak-anak mereka untuk berpuasa. Anak kecil tidak disyaratkan berpuasa sehari penuh karena belum wajib. Akan tetapi, hendaknya orang tua membiasakan mereka berpuasa sesuai kemampuannya.

[10]. Dan semisal no.9: Sebagian wanita telah hHaidh di usia dini; sepuluh atau sebelas tahun, tetapi orang tuanya tidak memerintahkannya berpuasa dan beremehkan hal ini.

Ini merupakan kelalaian terhadap hukum-hukum syariat, karena haidh merupakan tanda-tanda baligh. Di saat wanita itu mulai haidh, di saat itulah ia mulai baligh. Telah berlaku baginya pena kebaikan dan kejahatan, serta wajib untuk melaksanakan ibadah.

Tanda-tanda baligh:

a. Keluar air mani karena mimpi atau yang lainnya.
b. Tumbuhnya bulu kemaluan.
c. Mencapai usia lima belas tahun.
d. Haidh bagi wanita.

Jika salah satu tanda di atas terdapat pada seseorang, ia telah menjadi mukallaf (diberi beban syariat -ed).

[11]. Melafazhkan niat Puasa.

Ini tidak memiliki asal dari sunnah yang suci, bahkan termasuk bid’ah yang diada-adakan. Niat merupakan salah satu syarat sahnya ibadah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya tergantung pada niat. (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Akan tetapi, niat itu tempatnya di hati sehingga cukup seseorang itu bangun untuk makan sahur, atau bertekad untuk berpuasa sebelum tidur, atau yang semisalnya (tanpa perlu melafadzkan niat di lisan-ed). Pada asalnya, niat ini berlaku selama satu bulan penuh, kecuali bagi orang yang berniat untuk berbuka karena dalam kondisi sakit atau safar. Dalam kedua kondisi tersebut, ia perlu memperbarui niat tatkala hendak berpuasa kembali.

**Dari Majalah Ommaty, Edisi 37 Ramadhan 1428 H

***

Oleh Syaikh Muhammad al-Hamud an-Najdi
Penerjemah: Ustadz Abu Ahmad Fuad Baraba’, Lc.
Artikel www.muslim.or.id




Daftar RSS komentar

15 komentar

1.
abu zahro says:
9 September 2009 at 10:49 am

dikatakan bahwa mengucapkan niat puasa adalah bid’ah, maka apakah puasanya tertolak? syukron
2.
Johan Firdaus says:
9 September 2009 at 3:53 pm

terimakasih atas ilmu yang anda berikan,ilmu ini sangat bermanfaat dan perlu di kabarkan untuk banyak orang karena masih banyak yang menyimpang dari ini..wassalam
3.
muslimah says:
9 September 2009 at 4:03 pm

@ abu zahro
Perlu kita cermati, bahwa yang tertolak adalah amalan niat itu sndiri bukan puasanya. Krn disana dikatakan pengucapan niat termasuk bid’ah, maka siapa saja yang mengucapkan niat maka amalan niatnya tsb tertolak. Adapun puasanya sah2 saja selama tidak melakukan pembatal2 puasa.
4.
muslimah says:
9 September 2009 at 9:19 pm

maksud saya, yang tertolak adalah ucapan “nawaitu shouma…”. Adapun niat orang tsb tetap sah, krn yg namnya niat kan bersengaja melakukan sesuatu. Cukuplah dikatakan org tsb telah memiliki niat puasa ketika dia menyengaja untuk puasa.
Allahua’lam
5.
Muhammad bin abdullah bin abdulgani says:
10 September 2009 at 3:49 pm

Subhanallah, afwan akhi abu zahro diartikel sub judul tertulis melafazkan niat jadi yang dianggap bid’ah adalah melafazkannya bukan niatnya.
6.
epta says:
12 September 2009 at 11:37 am

terima kasih banyak ilmu nya
7.
Abu naufal says:
12 September 2009 at 4:10 pm

Alhamdulillah ada kmudahan dr Allah u/menimba setetes ilmu yg shahih.smg islam cpt tegak d atas manhaj yg haq..
8.
sriyanto says:
14 September 2009 at 12:40 pm

APA SALAH ATAU SESAT KALAU UNTUK MEMANTAPKAN NIAT DIHATI DENGAN DIAWALI DENGAN UCAPAN LESAN DULU, KARENA TINGKAT KEYAKINAN SESEORANG ADLAH TIDAK SAMA, MISAL MASIH AWAM DALAM PEMAHAMAN AGAMA ISLAM ( SEPERTI MENGAJARKAN AGAMA KEPADA ANAK YANG MASIH KECIL).
9.
Tommi says:
15 September 2009 at 12:32 am

@pak sriyanto

Justru itu pak, niat itu yg benar adalah tempatnya didalam hati, tidak perlu diucapkan. Saya tidak memvonis sesat atau bid’ah kepada org2 yg mengucapkan niat, tp org2 bnyk yg salah kaprah mengenai hal ini.

Saya beri contoh, dalam hal sholat, betapa sudah mafhum pengucapan niat sholat fardhu yg akrab di masyarakat yaitu usholli fardhodz dzuhri arba’a…, usholli fardhol ashri…, dst, tp kita liat justru pelafazan dan pengkhususan niat spt inilah yg menyusahkan kita untuk sholat, pdhl dalam riwayat2 hadits tidaklah ditemukan lafaz2 niat dari Nabi. Nabi bersabda, “mulailah sholat dengan takbiratul ihram…”. Lagipula anda bayangkan, jika kita mengkhususkan diri dengan pengucapan niat, bayangkanlah betapa banyaknya lafazh niat yg harus kita hafal mengingat ibadah itu bukan cuma sholat fardhu, tp jg ada sholat sunah rawatib, sholat dhuha, tahajjud, witir, tarawih dst, lalu ada pula puasa Ramadhan, puasa senin kamis, puasa daud, zakat fitrah, zakat mal, sedekah. Dan pd akhirnya akan terbentuk suatu pola di pemikiran kita bahwa ibadah kita tidak akan sah sebelum kita mengucapkan niat. Nah…inilah yg musti kita perbaiki pak krn kalo sudah ada pemikiran spt ini, kita bisa terjerumus dlm bid’ah.

Afwan, saya hanya mengkoreksi sdkt. Saran saya, biasakanlah untuk mencukupkan diri dengan berniat didalam hati. Saya paham klo hal itu sulit karena kita sudah terbiasa dr kecil dididik untuk selalu mengucapkan niat sblm mulai ibadah, tp hendaknya kita mulailah perlahan2 untuk meninggalkan kebiasaan yg tidak ditemukan contohnya dari Nabi lalu beralihlah pada sunnah2nya.
10.
nur jihan says:
24 April 2010 at 7:36 pm

tolong dong anak saya di mau mengetahui tulisan al qur`an beserta artinya pada niat makan sahur
11.
Yulian Purnama says:
24 April 2010 at 8:28 pm

#Nur Jihan
Ibu Nur yang semoga senantiasa dimuliakan Allah, Nabi kita tidak pernah mengajarkan lafadz niat makan sahur. Para ulama mengatakan bahwa niat adalah perbuatan hati bukan perbuatan lisan. Jadi, hati kita bertekad untuk berpuasa pada hari itu, itulah niat.
Adapun bagi anak ibu, saat hendak sahur, cukup ajarkan doa untuk makan saja. Dzikir yang shahih, yang dianjurkan untuk diamalkan ketika bulan Ramadhan baca di http://muslim.or.id/ramadhan/dzikir-dzikir-di-bulan-ramadhan.html
Wallahu’alam
12.
ARI says:
29 April 2010 at 2:57 pm

Terima Kasih atas ilmunya
13.
admaja says:
23 July 2010 at 9:14 pm

jazakullah khair atas ilmunya,,,ana minta izin copy paste…barakallahu fikum
14.
hafidz says:
11 August 2010 at 6:36 pm

jazakumullah artikelnya bagus n tambah ilmu ..

Sabtu, 13 Februari 2010

memulai bergaul di Blog

hallo apa kabar..

ini adalah perkenalanku memulai masuk ke dunia blog..ini blog pribadiku
ini perkenalanku,terimakasih telah berkunjung dan semoga bermanfaat

sukma yadi