sukma yadi blogs
saya hanya manusia biasa...yang berusaha menjadi manusia yang berguna bagi orang lain dan selalu mengabdi kepada Allah swt
Senin, 29 April 2013
sejarah sumedang
Sejarah Soeria Danoe Ningrat part III
oleh Gunawan Suria Danu Ningrat (Catatan) pada 23 Januari 2010 pukul 6:21
C. URUTAN PENDAHULU DARI SUMEDANG
Pada akhir abad 14 sebagai salah satu upaya pengembangan wilayah kekuasaan, Raja Galuh yang berkuasa waktu itu menugaskan salah satu kerabatnya untuk berangkat kearah utara mencari dan membuka lahan pertanian baru bersama beberapa kepala keluarga, perjalanan mereka sampailah disuatu daerah di Tatar Sunda bagian tengah yang tidak diketahui apa sudah ada penduduknya atau belum sama sekali dan langsung membuka lahan pertanian, komunitas penduduk tersebut kemudian berkembang dan membentuk pemerintahan setingkat kerajaan kecil/bawahan yang bernama TEMBONG AGUNG (artinya: terlihat bagus, indah, mulia), tepatnya di Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang sekarang dengan raja pertama yang tercatat dalam sejarah Sumedang bernama Prabu Aji Putih atau Prabu Lembu Peteng Aji, diperkirakan kekuasaannya dari tahun 1468 sampai tahun 1482, kerajaan kecil tersebut berinduk ke Kerajaan Galuh sampai dengan berdirinya Kerajaan Pakuan Pajajaran pindah berinduk ke kerajaan besar tersebut.
Selanjutnya dari Prabu Aji Putih terjadi pewarisan kekuasaan langsung kepada putranya yang bernama Prabu Taji Malela, (1482 sampai 1492} untuk sebagian ahli sejarah Sumedang beliau dianggap sebagai peletak dasar berdirinya Kerajaan Sumedang Larang, ada yang berpendapat nama Sumedang berasal dari ucapan beliau yang terkenalyaitu INSUN MEDAL INSUN MADANGAN (artinya: aku dilahirkan, aku menerangi) dariinsun madangan diperkirakan terjadi perubahan pengucapan dan dianggap cikal bakal nama SUMEDANG ( inSUN MADANGan ).
Beliau menyerahkan kekuasaan mula-mula kepada putranya yang bernama Prabu Lembu Agung namun tidak berapa lama kemudian menjadi resi/pendeta, maka tampuk pimpinan selanjutnya diserahkan kepada putra yang lain bernama Prabu Gajah Agung, ( 1492 sampai 1502 ) beliau memindahkan ibu kota ke kampung Ciguling Desa Pasanggrahan Kecamatan Sumedang Selatan, tidak ada keterangan alasan pemindahan tersebut, apakah karena faktor keamanan ataukah kebiasaan ladang berpindah, dan beliau menjadi Raja SUMEDANG LARANG (Larang artinya unggul, tangguh, kuat).
Salah satu benda peninggalan Prabu Gajah Agung adalah keris Ki Dukun yang sarungnya terbuat dari emas murni, sekarang disimpan di museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.
Pada pewarisan berikutnya kepada Prabu Pagulingan (1502 sampai 1512) dilanjutkan pewarisan kepada Prabu Patuakan (1512-1522) yang kemudian digantikan oleh putrinya Nyi Mas Ratu Patuaka, (1522 sampai 1530) tidak ada keterangan apakah beliau bertindak sebagai pemegang kekuasaan sesungguhnya atau pendamping suami/Raja.
Dari Nyi Mas Ratu Patuakan kemudian diwariskan kepada putrinya yaitu Ratu Pucuk Umun (Nyai Mas Ratu Inten Dewata) yang dikemudian hari diperistri oleh Pangeran Kusumadinata/Pangeran Santri dan dikurniai 6 orang anak.
Walaupun Ratu Pucuk Umun adalah keturunan langsung sekaligus pewaris Kerajaan Sumedang Larang, namun karena tradisi yang berlaku atau beberapa pertimbangan maka yang diangkat sebagai Raja Sumedang Larang berikutnya adalah sang suami yang bernama Pangeran Kusumadinata/Pangeran Santri keturunan Cirebon memerintah Sumedang dari tahun 1530 sampai 1578, terjadi lagi pemindahan ibu kota ke Kutamaya Desa Padasuka Kecamatan Sumedang Selatan.
Dalam silsilah keluarga Sumedang Pangeran Kusumadinata/Pangeran Santri selain dianggap sebagai raja daerah/mandala juga mendapat gelar jabatan NALENDRA dari Kerajaan Pakuan Pajajaran, beliau dijadikan titik tolak urutan para keturunan Sumedang serta diposisikan sebagai Bupati pertama walaupun istilah Bupati belum dikenal pada waktu itu.
Mulailah urutan para penguasa atau Bupati yang memerintah Sumedang secara turun menurun, dimulai dari pewarisan kekuasaan/kerajaan kepada salah satu putranya yang bernama Prabu Geusan Ulun/Pangeran Kusumadinata II dan bergelar Nalendra yang memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 1610.
Pada masa pemerintahannya datang menghadap untuk mengabdi serombongan orang yang dipimpin oleh 4 Kandage Lante (bangsawan/abdi raja setingkat bupati) dari Pakuan Pajajaran yang telah hancur diserang Kesultanan Banten, kedatangannya selain melaporkan bahwa Pajajaran telah bubar juga meminta agar Prabu Geusanulun meneruskan kepemimpinan Pakuan Pajajaran, diserahkanlah mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Bino Kasih berikut perhiasan serta atribut kebesaran lainnya sebagai bentuk pernyataan bahwa Kerajaan Sumedang Larang telah ditetapkan sebagai penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran, ke 4 Kandaga Lante tersebut adalah :
- Batara Sang Hyang Hawu (Sayang Hawu atau lebih dikenal sebagai eyang/Embah Jaya Perkasa );
- Batara Pancar Buana (Terong Peot);
- Batara Dipati Wiradijaya (Nganganan);
- Batara Sang Hyang Kondang Hapa.
Dengan kejadian tadi berarti kedudukan dan kekuasaan Prabu Geusan Ulun Raja Sumedang Larang menjadi lebih besar dengan menerima hibah sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran (seluruh Tatar Sunda kecuali Banten dan Cirebon), sementara Raja Pakuan Pajajaran terakhir (Prabu Nusiya Mulya/Suryakancana) menurut kabar menyingkir ke Gunung Salak sambil menghimpun kekuatan untuk serangan balasan, namun tidak pernah terlaksana karena beliau keburu meninggal dunia.
Walaupun telah menerima wilayah kekuasaan dari bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran, sulit bagi beliau untuk mengembangkan kekuasaannya karena posisi Sumedang Larang terjepit diantara dua kekuatan besar yaitu Kerajaan/Kesultanan Banten dan Kerajaan/Kesultanan Cirebon yang sama-sama mengincar wilayah bekas Pakuan Pajajaran.
Pada masa pemerintahannya terkenal dengan peristiwa yang menggemparkan sekaligus memalukan yaitu, dibawa kaburnya Ratu Harisbaya salah satu istri Raja Cirebon Pangeran Girilaya Panembahan Ratu pada saat Prabu Geusan Ulun berkunjung ke Keraton Cirebon sekembalinya dari Kerajaan Demak dalam rangka memperdalam agama Islam, terjadi penyerbuan Cirebon yang mengakibatkan beliau terpaksa menyingkir ke Dayeuh Luhur bersama Ratu Harisbaya serta sebagian kecil rakyat dan pengikutnya, meski pada akhirnya tercapai perdamaian dengan Cirebon namun Sumedang Larang mengalami kerugian besar yaitu hilangnya wilayah Sindang Kasih yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Majalengka diserahkan kepada Panembahan Ratu Cirebon sebagai pengganti talak tiga atas nama Ratu Harisbaya, sejak itulah pusat pemerintahan Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur dan akhirnya beliau wafat dan dimakamkan disana bersama Ratu Harisbaya.
Ratu Harisbaya diperistri oleh Pangeran Geusan Ulun sebagai istri ke 2 dan memiliki 3 orang anak salah satunya bernama Suriadiwangsa yang kelak bergelar Pangeran Kusumadinata IV, sementara dari istri pertama yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru memiliki 12 anak salah satunya bernama Rangga Gede dan diberi gelar Pangeran Kusumadinata III, untuk tidak menimbulkan pertengkaran di kemudian hari maka pada tahun 1601 wilayah Sumedang Larang dibagi dua yang masing-masing dipimpin oleh ke dua putranya diatas.
Dalam masa tersebut Kesultanan Mataram-Jawa Tengah dibawah pimpinan Sultan Agung mengalami masa keemasan dan merupakan kesultanan yang sangat kuat, dilatar belakangi kekhawatiran terhadap ekspansi kesultanan Banten ke arah Timur setelah menaklukkan Pakuan Pajajaran, mendorong Suriadiwangsa berangkat ke Mataram meminta perlindungan.
Setibanya di Mataram beilau menyampaikan maksudnya kepada Sultan Agung, dan mendapat sambutan hangat serta mendapat gelar Rangga Gempol Kusumadinata dari Sultan Agung yang dalam urutan silsilah Sumedang disebut Rangga Gempol I, penghargaan lain dari Sultan Agung menjuluki wialayah kekuasaan Sumedang dengan nama PRAYANGAN artinya daerah yang berasal dari pemberian dibarengi oleh hati yang ikhlas dan tulus, di kemudian hari dengan lafal setempat nama prayangan berubah menjadi PRIANGAN, berbeda dengan kata PARAHIANGAN (PARA-HYANG-AN ) yang artinya identik tempat tinggal para dewa atau orang suci (Hyang).
Latar belakang lainnya yang mendorong Sumedang menempatkan diri dibawah pretensi atau proteksi Mataram:
1. Hanya Kerajaan/Kesultanan Mataram dibawah kepemimpinan Sultan Agung yang dianggap dapat mengimbangi kekuatan Banten.
2. Ratu Harisbaya merupakan kerabat Raja/Sultan Mataram, sehingga yang berangkat ke Mataram adalah putranya sendiri (Raden Suriadiwangsa/Rangga Gempol I).
3. Seperti halnya Sumedang Larang, Kerajaan/Kesultanan Mataram memiliki pendahulu yang sama yaitu Kerajaan Galuh, sehingga masih memiliki kekerabatan.
4. Rasa sakit hati terhadap Banten yang telah menghancurkan Pakuan Pajajaran, dibarengi pula rasa takut menghadapi kemungkinan ekspansi Kesultanan Banten dalam rangka menguasai wilayah bekas Pakuan Pajajaran.
5. Akibat peristiwa Harisbaya hubungan Sumedang Larang dengan Cirebon menjadi kurang harmonis, timbul pula kekhawatiran terhadap ekspansi Cirebon.
6. Sementara itu sedang terjadi perang dingin antara Kesultanan Banten dengan Kesultanan Cirebon sementara Sumedang Larang terjepit diantara dua kekuasaan tadi sehingga mengambil jalan keluar dengan mengabdikan diri ke Mataram, yang memiliki kekuatan melebihi kedua Kesultanan tadi.
Catatan:
Kerajaan/Kesultanan Banten, Cirebon dan Mataram sangat kuat pada masa itu, karena mereka memiliki pantai-pelabuhan tempat berbagai kegiatan bukan hanya perdagangan tetapi juga masuknya persenjataan modern ukuran masa itu, Sumedang baru pertama kali memiliki meriam dan senjata api ±30 tahun kemudian pada periode pemerintahan Pangeran Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan) itupun dalam jumlah sedikit yang diperoleh dari pemberian Belanda..
Suriadiwangsa/Kusumadinata IV/Rangga Gempol I diangkat sebagai Bupati Wadana Prayangan, jabatan yang setingkat dengan Gubernur masa kini yang membawahi wilayah seluruh Jawa Barat kecuali Cirebon dan Banten (sebelum Banten menjadi propinsi) termasuk membawahi wilayah yang dikuasai Rangga Gede, tidak berapa kemudian beliau mendapat perintah untuk menaklukkan Sampang Madura. Wilayah kekuasaannya dititipkan kepada Rangga Gede karena putra-putranya belum ada yang dewasa.. Beliau berhasil menaklukkan Sampang Madura namun tidak berapa lama sekembalinya ke Mataram malah beliau dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Agung akibat fitnah dari Bupati Purbalingga yang bernama Dipati Ukur. Mendengar saudaranya telah dihukum mati. Rangga Gede mengambil alih dan mempersatukan wilayah titipan dengan wilayah miliknya, berarti Sumedang Larang kembali ke luas asalnya., salah satu putra Suriadiwangsa/Rangga Gempol I yang bernama Kartajiwa menuntut kembali wilayah kekuasaan ayahnya namun tidak ditanggapi, akhirnya ia pergi dan meminta bantuan Sultan Banten,
Mulailah pemerintahan Pangeran Rangga Gede/Pangeran Kusumadinata III baik sebagai Bupati Sumedang maupun sebagai Bupati Wadana Prayangan/Priangan dari tahun 1625 sampai tahun 1633, dibawah pengaruh Mataram dan terdapat berbagai perubahan baik struktur organisasi dan pengenalan nama jabatan antara lain Bupati, Wadana, Kabupaten (dari Ka-Bupati-an), termasuk nama Sumedang Larang menjadi Sumedang saja tanpa Larang, juga berbagai gelar kepangkatan, dalam silsilah dianggap sebagai Bupati Sumedang ke 4.
Beberapa waktu kemudian terjadilah intervensi Kesultanan Banten akibat pengaruh Kartajiwa putra Suriadiwangsa/Rangga Gempol yang ingin memperoleh kembali haknya, beberapa wilayah Sumedang ditaklukan dan dikuasai Banten. Karena dianggap tidak mampu menghadapi serangan Banten akhirnya Rangga Gede dipecat oleh Sultan Agung dan dipenjarakan di Mataram. Jabatan beliau sebagai Bupati Wadana Prayangan dicopot dan diserahkan kepada Dipati Ukur yang memindahkan pusat pemerintahan ke daerah Ukur (Bandung sekarang) dengan misi pertama mengusir tentara Kesultanan Bamten dari wilayah Priangan.
Setelah berhasil mengusir Banten misi kedua adalah menyerang Batavia namun misi kedua ini gagal dan Dipati Ukur tidak berani pulang ke Mataram. Oleh Sultan Agung tindakan Dipati Ukur dianggap desersi.dan harus dihukum berat, namun tidak ada yang sanggup menangkap Dipati Ukur yang terkenal gagah berani serta memiliki sisa-sisa pasukan yang kuat.
Akhirnya Sultan Agung membebaskan Rangga Gede dari hukuman dan memberi tugas menangkap Dipati Ukur hidup atau mati namun tugas tersebut tidak dapat terlaksana karena dalam perjalanan dari Mataram menuju Sumedang beliau keburu meninggal dunia dan dimakamkan di Canukur (Conggeang). Sedangkan Dipati Ukur sendiri akhirnya dapat ditangkap hidup-hidup oleh Bahureksa salah satu panglima perang Mataram akibat pengkhianatan beberapa pengikutnya, dibawa ke Mataram dan dihukum mati disana. Tidak ada keterangan siapa dan berapa jumlah istri Rangga Gede hanya tercatat beliau memiliki 29 orang anak.
Pemerintahan Kabupaten Sumedang selanjutnya dipegang oleh salah seorang putra Rangga Gede yang bernama Raden Bagus Weruh yang kemudian bergelar Pangeran Rangga Gempol II sebagai Bupati Sumedang ke 5 dari tahun 1633 sampai tahun1656, dan terjadi lagi pemindahan ibu-kota dari Canukur ke Kampung Sulambitan Kelurahan Regol Wetan Kecamatan Sumedang Selatan, berbeda dengan pendahulunya beliau bukan Bupati Wadana sebagai akibat peristiwa Dipati Ukur karena dalam masa awal pemerintahnya terjadi pemecahan wilayah di Prayangan/Priangan oleh Mataram menjadi empat Kabupaten yang sejajar kedudukannya yaitu Kabupaten Parakan Muncang, Bandung, Sukapura dan Sumedang sendiri, berarti wilayah Kabupaten Sumedang menjadi kecil hanya seperempat dari wilayah semasa Prabu Geusan Ulun, maksud pemecahan ini adalah penghargaan terhadap 3 orang bekas pengikut Dipati Ukur yang membelot dan ikut serta dalam operasi pengejaran serta penangkapan Dipati Ukur oleh Bahureksa dan masing-masing diangkat sebagai Bupati juga dalam rangka persiapan penyerangan ke Batavia untuk yang ketiga kalinya, namun tidak terwujud karena Sultan Agung keburu meninggal dunia. Beliaupun tidak ada keterangan berapa jumlah istrinya namun memiliki 29 orang anak.
Pengganti Rangga Gempol II adalah salah satu putranya yang bernama Pangeran Rangga Gempol III sebagai Bupati Sumedang ke 6 dari tahun 1656 sampai tahun 1706, beliau memindahkan ibu kota dari Sulambitan ke Tegal Kalong Kecamatan Sumedang Utara, dalam sejarah Sumedang beliau adalah termasuk Bupati yang cerdas dan pandai, tingkat diplomasinya tinggi sehingga Raja Mataram Amangkurat I sangat terkesan dan memberi gelar tertinggi Pangeran Panembahan padahal Amangkurat I terkenal dengan kekejamannya (bandingkan dengan nasib Sultan Sepuh Cirebon yang dipenjarakan oleh beliau), tidak berapa lama kemudian timbul pemberontakkan Trunojoyo terhadap Amangkurat I dan baru dapat dipadamkan semasa Amangkurat II berkat bantuan dari pasukan VOC-Belanda. Sementara itu beliau memanfaatkan situasi dengan diam-diam tidak lagi mengakui eksistensi Mataram, tidak pernah memenuhi undangan atau panggilan dari Sultan Mataram, tidak pernah melaksanakan perintah-perintah dan menghentikan pengiriman pajak-upeti ke Mataram, sementara pihak Mataram sendiri tidak dapat berbuat banyak karena sibuk menghadapi pemberontakkan Trunojoyo tadi. Usai pemberontakan Trunojoyo, Mataram terpaksa melunasi hutang dan janjinya kepada VOC-Belanda antara lain penyerahan sebagian wilayah Mataram namun tidak termasuk Priangan, malahan ditegaskan oleh Amangkurat II bahwa Priangan adalah wilayah kekuasaan Sumedang.
Pernyataan tersebut langsung maupun tidak langsung mengandung arti penambahan wilayah Sumedang kembali seperti semula semasa Geusanulun, dan selanjutnya Pangeran Panembahan memposisikan diri sebagai Bupati-Wadana, tidak ada Bupati-bupati di wilayah Priangan yang berani menentangnya, selain karena beliau dikenal sebagai sosok yang gagah berani juga Sumedang memiliki pasukan yang sangat kuat.
Untuk sementara waktu Sumedang kembali merupakan wilayah yang merdeka, berdiri sendiri, tidak lagi dibawah perintah atau kekuasaan siapapun, sampai akhirnya datang utusan dari Sultan Banten mengajak Sumedang-Priangan bergabung untuk memerangi VOC-Belanda. Ajakan ini ditolak mentah-mentah malahan diinformasikan kepada pihak VOC-Belanda. Dengan alasan untuk mengantisipasi serangan Banten, beliau meminta VOC Belanda berbagai senjata modern ukuran masa itu, yang dikabulkan dan diantar oleh kapten Mitchel sebagai utusan resmi VOC-Belanda.
Tentu saja tindakan beliau membuat Kesultanan Banten marah., namun untuk melakukan serangan terbuka tidaklah mungkin sehingga ditempuhlah cara yang licik., terjadilah. kejadian yang menggemparkan dan menyedihkan yaitu serangan Kesultanan Banten secara tiba-tiba yang dipimpin oleh Cilikwidara justru pada saat beliau dan rakyatnya sedang melaksanakan sholat Idul-Fitri yang harinya kebetulan jatuh pada hari Jumat, banyak kerabat dan rakyat yang tewas terbunuh karena dalam keadaan sama-sekali tidak siap untuk bertempur namun beliau selamat dan mengungsi dengan sisa-sisa kekuatannya, sebagai peringatan atas kejadian tersebut muncul tradisi apabila hari raya Idul Fitri jatuh pada hari Jumat, diharapkan para Bupati Sumedang dalam melaksanakan sholat tidak di wilayah Kabupaten Sumedang.
Dalam pengungsian itulah beliau terpaksa membuat perjanjian dengan VOC-Belanda melalui kapten Mithcel yang ikut mendampingi beliau dalam upaya mengembalikan lagi kekuasaannya.
Kabupaten Sumedang diduduki dan diperintah oleh Cilikwidara dari Kesultanan Banten selama ± 2 tahun, namun akibat sikap rakyat Sumedang yang tidak senang dengan pemerintahannya yang otoriter timbul berbagai pemberontakan kecil serta masuknya pasukan VOC-Belanda ke wilayah Sumedang-Priangan, akhirnya Kesultanan Banten memanggil pulang Cilikwidara bersama pasukannya kembali Banten dan kekuasaan kembali ke tangan Pangeran Panembahan. Dampak lain dari peristiwa tadi, sejak itulah Sumedang berada dibawah kekuasaan VOC-Belanda dengan perkataan lain dimulailah era penjajahan Belanda di tanah Pasundan/Priangan.
Beliaulah yang pertama kali menetapkan adanya tanah-tanah kabupatian lebih dikenal dengan istilah Tanah Kaprabon, yang hasilnya sebagai gaji Bupati berikut pembantu-pembantunya, tidak lagi mengandalkan pemberian upeti/seba/pajak dari masyarakatnya (sama dengan menggaji sendiri) sehingga banyak mengurangi beban masyarakatnya, tanah-tanah tersebut bersifat turun menurun artinya dinikmati oleh para Bupati penerusnya yang juga keturunannya dan sekarang dikelola oleh Yayasan Pangeran Sumedang (YPS), termasuk pada waktu itu pula Kabupaten Sumedang untuk pertama kalinya memiliki persenjataan modern seperti meriam besar, meriam kecil (kalantaka) dan beberapa pucuk senapan, walau dalam jumlah yang tidak terlalu banyak namun cukup untuk meningkatkan harga diri Sumedang dimata Bupati-bupati lainnya, ketenaran dan sifat bijaksana beliau menyebabkan banyak rakyat dari daerah lain pindah ke Sumedang untuk menetap dan mengabdi kepadanya, hal tersebut sempat disaksikan dan dicatat oleh Kapten Mitchels pada saat berada di Sumedang (1678).
Dalam sejarah Bogor terdapat suatu catatan yang tidak ada dalam sejarah Sumedang, yaitu ditugaskannya Letnan Raden Tanujiwa beserta 60 orang dari Kabupaten Sumedang oleh pemerintah VOC-Belanda pada tahun 1690 untuk membuka perkampungan baru di wilayah Bogor antara lain Jatinegara (sekarang masuk Jakarta), Parung Panjang, Parung, Parung Banteng, Citeureup, Cikeas (wilayah Kabupaten Bogor sekarang), Panaragan, Bantarjati, Sempur, Baranangsiang dan Cimahpar (wilayah Kota Bogor sekarang), siapa Tanujiwa tidak ada catatan khusus namun menilik dari namanya dalam silsilah Sumedang periode saat itu terdapat beberapa nama dengan kata depan Tanu (seperti Tanureja, Tanusuta, Tanumaja) kemungkinan beliau termasuk kerabat atau bangsawan Sumedang, bagi sebagian ahli sejarah Bogor Tanujiwa dianggap Bupati pertama dan peletak dasar pembentukan Kabupaten Bogor.
Dalam Silsilah keturunan Sumedang Pangeran Rangga Gempol III/Pangeran Panembahan tercatat memiliki istri yang bernama Nyai Raden Ayu Sepuh dan berputra 6 orang salah satunya bernama Raden Tumenggung Tanumaja ditetapkan sebagai Bupati Sumedang ke 7 memerintah dari tahun1706 sampai 1709 kekuasaanya tidak seperti pendahulunya karena jabatan Bupati Wadana dihapus diganti oleh Residen yang dipegang oleh Belanda, beliau adalah Bupati Sumedang pertama yang pengangkatan dan pelantikannya oleh VOC-Belanda, usia pemerintahannya terhitung pendek hanya 3 tahun karena keburu wafat, tetapi berdasarkan catatan yang ada tindakan beliau sering merepotkan VOC-Belanda, antara lain suka menyerang dan mencaplok wilayah kabupaten-kabupaten tetangganya khususnya Cirebon sehingga menimbulkan pertengkaran dan menjurus kepada peperangan, akibatnya VOC-Belanda harus sering turun tangan mendamaikan, beliau memindahkan ibu kota kembali ke Kelurahan Regol Wetan Kecamatan Sumedang Selatan sampai sekarang, tidak diketahui siapa nama dan berapa istrinya hanya tercatat beliau memiliki 10 orang anak.
Salah satu putra yang bernama Pangeran Kusumadinata menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Sumedang ke 8 dari tahun 1709 sampai tahun 1744, dan memakai gelar Rangga Gempol IV tetapi gelar tersebut tidak diakui oleh VOC-Belanda, identik dengan ayahnya beliau juga sering merepotkan VOC-Belanda, banyak keinginan dan tindakan-tindakannya dalam rangka memperluas wilayah kekuasaan Sumedang membuat VOC-Belanda kerepotan, beliau seringkali mendapat teguran dari VOC-Belanda, jasa beliau adalah pencetakan sawah baru termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakatnya sehingga rakyat Sumedang menjulukinya sebagai Pangeran Karuhun, memiliki 21 anak tanpa ada catatan berapa jumlah istirnya
Yang menggantikan Pangeran Kusumadinata/Pangeran Karuhun adalah putri sulungnya yaitu Nyi Raden Rajaningrat, dikenal sebagai perempuan pertama yang menduduki jabatan Bupati Sumedang ke 9 dari tahun 1744 sampai tahun 1759, menikah dengan Dalem Surianagara (putra Raden Wangsadita Bupati Limbangan), alasan VOC-Belanda tentang penunjukan tersebut karena semua anak laki-laki dari Pangeran Kusumadinata/Pangeran Karuhun (Puspanata, Diranata dan Tawang) dianggap tidak memenuhi syarat, berbeda dengan salah satu pendahulunya yaitu Ratu Pucuk Umun, Nyai Raden Rajaningrat walaupun seorang perempuan/istri tetap memiliki kekuasaan dan menjalankan pemerintahannya secara langsung (tidak diserahkan kepada suaminya), VOC-Belanda memanggilnya Regeentes (Bupati Perempuan), sementara salah satu cucunya disepakati untuk dipersiapkan sebagai calon Bupati berikutnya yaitu Raden Jamu yang saat itu masih kanak-kanak.
Sambil menunggu Raden Jamu dewasa maka salah satu putranya bernama Raden Anom diangkat menjadi Bupati Sumedang ke 10 dan bergelar Adipati Kusumadinata memerintah hanya dari tahun 1759 sampai tahun 1761, tidak ada catatan khusus mengenai kepemimpinan beliau, mungkin karena usia pemerintahannya tergolong singkat hanya 2 tahun, kepemimpinan diserahkan kepada anak berikutnya yang bernama Raden Surianagara dari tahun 1761 sampai tahun1765 sebagai Bupati Sumedang ke 11 yang kemudian bergelar Adipati Surianagara II, beliau adalah ayah kandung Raden Jamu dari pernikahannya dengan Nyai Mas Naga Kasih (hanya memiliki 2 orang anak)., bila menyimak silsilah keturunan Sumedang Nyai Mas Naga Kasih masih termasuk kerabat dan tingkat generasinya lebih senior dari Adipati Surianagara II, sehingga sekilas tampak adanya pernikahan bibi dengan keponakan, namun kemungkinan besar jarak hubungan sosial antara keduanya sudah demikian jauh sehingga dimungkinkan adanya pernikahan tersebut serta sebagai salah satu upaya menjaga kemurnian darah Kasumedangan.
Sama seperti kakaknya ia hanya memerintah dalam jangka waktu pendek yaitu 4 tahun juga tidak ada catatan khusus selama beliau memimpin, sambil menunggu putranya (Raden Jamu) dewasa maka yang menggantikan adalah adiknya yang bernama Raden Surialaga Bupati ke 12 dari tahun1765 sampai tahun1773, juga tidak ada catatan khusus mengenai beliau, setelah meninggal dunia terjadi kekosongan Kebupatian Sumedang karena Raden Jamu dianggap belum dewasa, Raden Surialaga sendiri akhirnya dijuluki Dalem Panungtung (Bupati paling ujung/akhir ) dari silsilah keturunan Pangeran Santri.
Untuk mengisi kekosongan, VOC Belanda memutuskan untuk menempatkan sementara Bupati dari luar Sumedang (diluar garis keturunan Pangeran Santri) yaitu Adipati Tanubaya yang semula menjabat Bupati Parakan Muncang dan setelah meninggal digantikan oleh putranya yang bernama Tumenggung Patrakusumah dengan mengambil gelar seperti ayahnya Tanubaya II tapi gelar tersebut tidak diakui oleh VOC-Belanda.
Seperti telah disebutkan bahwa cucu Dalem Istri Rajaningrat, putra Adipati Surianagara II yang bernama Raden Jamu sejak kecil telah dipersiapkan baik oleh kerabat Sumedang maupun VOC-Belanda untuk menjadi Bupati Sumedang berikutnya, namun dibandingkan dengan para pendulunya beliau tidak begitu saja dengan mudah memegang tampuk kebupatian berikutnya, berbagai hambatan menghadangnya dimana beliau hampir dibunuh oleh mertuanya sendiri Raden Tumenggung Patrakusumah yang sedang menjabat sementara Bupati Sumedang .
Menurut cerita salah satu besan Raden Tumenggung Patrakusumah bernama Demang Dongkol (nama julukan dan tidak pernah diungkap nama aslinya) dari Parakanmuncang berkeinginan agar Bupati Sumedang periode berikutnya jatuh kepada salah satu putra kandungnya dan bukan Raden Jamu pewaris asli.
Maka ia menyebarkan fitnah dan menghasut sang besan sehingga timbul kebencian dari Tumenggung Patrakusumah terhadap sang Raden Jamu sebagai menantu, puncaknya adalah upaya pembunuhan yang didalangi sang mertua terhadap menantunya.
Menyadari bahaya yang timbul Raden Jamu melarikan diri ke Kabupaten Cianjur meninggalkan istrinya (putri Tumenggung Patrakusumah) yang bernama Nyi Raden Raja Mira dan putri tunggalnya Nyi Raden Kasomi, menyamar dan mengabdi di daerah tersebut tanpa ada yang tahu siapa beliau sebenarnya, dimulai dari penyamaran sebagai buruh perkebunan kopi kemudian magang pada jabatan pemerintahan paling terendah yaitu juru tulis (pegawai tata usaha) di salah satu wilayah setingkat Kecamatan, karena prestasi kerjanya sangat baik akhirnya Bupati Cianjur Raden Adipati Aria Wiratanu Datar VI mengetahui siapa beliau sebenarnya, tidak berapa lama kemudian beliau dinikahkan dengan Nyai Raden Lenggang Kusuma keturunan Bupati Cianjur Wiratanu Datar IV dan memiliki 3 orang anak.
Terakhir beliau menjabat Wedana Cikalong Kabupaten Cianjur, dan atas usulan Raden Aria Sacapati pejabat sementara Bupati Sumedang pengganti Tumenggung Patrakusumah dan juga berkat perlindungan serta dukungan Bupati Cianjur akhirnya Raden Jamu dapat kembali ke Sumedang dengan selamat untuk kemudian diangkat sebagai Bupati Sumedang ke 15 (dalam urutan para Bupati Sumedang ) dengan gelar Pangeran Surianagara Kusumadinata memerintah dari tahun 1791sampai tahun 1828, serta dianggap sebagai kembalinya tampuk jabatan bupati kepada keturunan langsung Pangeran Santri yang dalam beberapa periode sempat terputus (menunggu Raden Jamu dewasa). sementara sang mertua (Raden Tumenggung Patrakusumah) telah dipecat sebelumnya oleh Pemerintah Belanda karena prestasi kerja serta tabiatnya dianggap buruk dan selanjutnya dibuang ke Batavia, wafat dan dimakamkan disana.
Tidak berapa lama kemudian VOC dibubarkan karena mengalami kemerosotan dan kerugian besar sehingga pemerintahan langsung dipegang oleh Kerajaan Belanda dengan mengangkat Gubernur Jenderal sebagai perwakilan kerajaan dan penguasa di negeri Nusantara., satu kejadian penting pada masa pemerintahan beliau adalah diberlakukannya Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) khususnya kopi, lada dan nira.
Pangeran Surianagara Kusumadinata adalah salah satu Bupati Sumedang yang paling populer di Tatar Sunda karena keberaniannya membantah perintah Marsekal Herman Willem Daendels Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang terkenal galak (sehingga dijuluki Tuan Besar Guntur) dalam peristiwa pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan di salah satu lokasi yang kemudian dikenal dengan nama Cadas Pangeran.
Tidak hanya itu saja berbagai dokumen dan catatan menyatakan bahwa beliau dikenal sebagai Bupati yang sederhana, ramah, sangat mencintai dan dicintai rakyatnya, mungkin karena beliau meniti karir dari yang paling bawah sehingga sedikit banyak membuka mata hati beliau melihat kondisi masyarakat yang sebenarnya. Selama kepemimpinan beliau Kabupaten Sumedang mengalami berbagai kemajuan terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan, berbagai pujian dan penghargaan beliau terima dari pemerintah Hindia Belanda, surat pujian dan penghargaan tersimpan di Museum Prabu Geusanulun Sumedang.
Beliau memperoleh pangkat militer Kolonel dan karena lafal setempat masyarakat menyebutnya Pangeran Kornel, penganugerahan pangkat tersebut didasarkan jabatan Bupati yang disetarakan dengan pangkat militer serta prestasi gemilang beliau dalam menumpas berbagai kerusuhan dan gangguan keamanan antara lain peristiwa pemberontakan Ki Bagus Rangin dari Cirebon. Beliau meninggal dunia tidak berapa lama setelah usai menghambat gerakan pasukan Diponegoro yang berupaya masuk ke wilayahnya untuk menyerang Batavia, tindakan beliau semata-mata ingin menciptakan dan menjaga situasi kondusif yang telah lama berlangsung di Kabupaten Sumedang.
Memiliki 2 orang istri dan 4 orang anak dimana salah satunya kelak diangkat menggantikan beliau sebagai Bupati Sumedang ke-16 yaitu Raden Adipati Kusumayuda dari tahun 1828 sampai tahun1833, konon beliau berbadan tinggi besar sehingga dijuluki Dalem Ageung (besar), hanya sedikit catatan yang menceritakan kepemimpinan beliau, antara lain bagaimana beliau lebih disibukkan urusan keamanan, sering bertempur dan terlibat perkelahian langsung dengan para perusuh serta perampok., rupanya beliau memiliki keahlian dan hobi bertempur / berkelahi.
Seharusnya pengganti Adipati Kusumayuda adalah putranya yang telah dipersiapkan yaitu Raden Somanagara, namun karena masih kanak-kanak dan khawatir peristiwa proses pengangkatan Pangeran Kornel terulang kembali maka jabatan Bupati Sumedang untuk sementara dipegang oleh sang paman bernama Adipati Kusumadinata dan dilanjutkan oleh Tumenggung Suriadilaga dari tahun 1833 sampai 1836.
Akhirnya pada tanggal 20 Januari 1836 Raden Somanagara dilantik menjadi Bupati Sumedang ke 19, dengan gelar Pangeran Suria Kusumah Adinata yang memerintah dari tahun 1836 sampai tahun 1882.
Beliau dikenal sebagai Bupati terkaya dalam urutan para Bupati Sumedang sebelumnya dan terkaya di Tatar Sunda waktu itu, yang berasal dari:
1. Warisan para pendahulunya berupa tanah Kaprabon (gaji Bupati) yang diawali dari sejak Pangeran Panembahan (Bupati Sumedang ke 6/Rangga Gempol III) yang semakin bertambah luas termasuk jumlah arealnya (menyebar di beberapa Kecamatan) oleh para Bupati berikutnya.
2. Pada saat itu Kabupaten Sumedang mengalami jaman keemasan dengan tingginya produksi pertanian terutama padi, kopi dan nila.
Salah satu bukti meningkatnya produksi kopi adalah pendirian Gudang Kopi di wilayah Kecamatan Sumedang Selatan (sekarang berubah menjadi Kantor Pegadaian) dan di beberapa tempat diluar Kota Sumedang, termasuk rencana membuka jalur kereta-api Bandung-Sumedang untuk mengangkut kopi, namun entah kenapa tidak jadi dilaksanakan, beberapa bekas rencana pembangunan tersebut masih ada antara lain bangunan mirip Stasiun di Jatinangor belakang kampus IPDN, alur jalan untuk rel kereta api di Jatinangor-Tanjungsari-Sumedang dan beberapa jembatan beton yang dibiarkan terbengkalai.
Karena kekayaannya maka beliau dijuluki Dalem Sugih (kaya), selain harta kekayaan yang dimilikinya beliaupun dikenal sebagai Bupati yang memiliki 4 permaisuri/garwa padmi, 27 garwa selir dan 94 anak.
Salah satu permaisuri/garwa padminya bernama Raden Ayu Mustikaningrat, putrid Bupati Galuh Ciamis Raden Adipati Aria Kusumadiningrat/Kanjeng Perbu dari pernikahan dengan Raden Ayu Juwitaningrat putri Tionghoa yang nama aslinya adalah Tee Pit Nio (lihat silsilah dari Ciamis).
Dari pernikahan tersebut lahir 13 anak antara lain Raden Panji Suriakusumah,
walaupun Raden Panji Suriakusumah memiliki status yang relatif kuat yaitu sebagai salah seorang putra Bupati Sumedang dari istri permaisuri/garwa padmi dan juga salah seorang cucu Bupati Ciamis, namun karir beliau hanya sampai jabatan assisten wedana (setingkat Camat) dan terakhir menjabat di Malangbong-Tasikmalaya, dikarenakan jabatan Bupati pada masa itu tidak hanya ditentukan oleh keturunan dan kesepakatan keluarga tetapi juga harus ada ijin atau restu serta keputusan dari Pemerintah Belanda.
Masa purna baktinya dihabiskan di Ciamis sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Pemakaman Jambansari berdekatan dengan makam sang kakek (R.A.A. Kusumadiningrat/Kanjeng Perbu) dan persis disebelah makam sang ibu tercinta (R.A. Mustikaningrat).
Catatan :
Raden Panji Suriakusumah memiliki watak yang keras dan tegas namun penyayang, pada saat beliau bertugas sebagai pamong di Kabupaten Sumedang mendapat kabar bahwa salah satu bawahannya seorang Kuwu (Kepala Desa) disiksa oleh seorang pejabat Belanda karena kesalahannya yang sebenarnya kecil, ketika beliau menghampiri orang Belanda tadi untuk menyelesaikan persoalan secara baik-baik malah mendapat perlakuan tidak sopan, timbul amarahnya dan terjadilah perkelahian yang mengakibatkan pejabat Belanda tadi menderita luka-luka yang cukup parah. Akibat kejadian tersebut beliau hampir saja diseret ke pengadilan dengan tuduhan melawan pejabat Pemerintah Belanda, berkat perjuangan sang kakek (R.A.A.Kusumadiningrat/Kanjeng Perbu) beliau tidak jadi diadili, tetapi nama beliau dicoret dari nominasi calon Bupati Sumedang tanpa ada pembelaan atau dukungan dari sang ayah Kandung (Pangeran Sugih Bupati Sumedang), akibat lainnya karir beliau ikut terhambat hanya sampai asisten wadana di luar Kabupaten Sumedang.
Beliau memiliki 3 istri dan 12 anak, dari salah satu istrinya yang bernama Nyai Raden Raja Ratna/Retnadi/Permata lahirlah Raden Makmun, kelak diangkat dan dilantik sebagai Bupati Sukabumi dengan nama dan gelar RADEN ADIPATI SURIA DANU NINGRAT.
Bila dibuat bagan silsilah pendahulu kita dari Sumedang adalah sebagai berikut
Kerajaan Galuh di Ciamis
↓
Prabu Aji Putih/Prabu Lembu Peteng Aji
Raja Tembong Agung
Di Darrmaraja Sumedang
(± 1400-… )
↓
Prabu Taji Malela
Raja Tembong Agung / Sumedang Larang
Di Darmaraja Sumedang
↓
Prabu Gajah Agung
Raja Sumedang Larang
↓
Prabu Pagulingan
Raja Sumedang Larang
↓
Sunan Tuakan
Raja Sumedang Larang
↓
Nyi Mas Ratu Patuakan
Raja / Ratu Sumedang Larang (…-1530)
↓
Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Inten Dewata
Menikah dengan Pangeran Kusumadinata / Pangeran Santri
Raja/Nalendra/Bupati ke 1 Sumedang Larang (1530-1578)
↓
Prabu Geusan Ulun
Raja/Nalendra/Bupati ke 2 Sumedang Larang (1578-1610)
↓
Pangeran Rangga Gede
Bupati Wadana Prayangan/Bupati Sumedang ke 4 (1625-1633)
↓
Pangeran Rangga Gempol II
Bupati Sumedang ke 5 (1633-1656)
↓
Pangeran Rangga Gempol III
Bupati Wadana Sumedang ke 6 (1656-1706)
↓
Tumenggung Tanumaja
Bupati Sumedang ke 7 (1706-1709)
↓
Pangeran Kusumadinata
Bupati Sumedang ke 8 (1709-1744)
↓
Dalem Istri Rajaningrat
Bupati Sumedang ke 9 (1744-1759)
↓
Adipati Surianagara II
Bupati Sumedang ke 11 (1761-1765)
↓
Pangeran Surianagara Kusumadinata / Pangeran Kornel
Bupati Sumedang ke 15 (1791-1828)
↓
Raden Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung
Bupati Sumedang ke 16 (1828-1833)
↓
Pangeran Suria Kusumadinata / Pangeran Sugih
Bupati Sumedang ke 19 (1836-1882 )
↓
Raden Panji Suriakusumah
Assisten Wadana Malangbong
↓
Raden Adipati Aria Suria Danu Ningrat / Dalem Gelung
Bupati Sukabumi ( 1933-1942, 1947-1948 )
↓
R. Gartidjah
R. Garminah
R.Gandhi Mohammad
R. Gandhini
R. Gartiwi
R. Garmini
R. Garmita
R. Gartika
R. Garsemi
R. Goemira Swargana
R. Ganda Soemaryana
↓
dst
D. URUTAN PENDAHULU DARI SUKAPURA-TASIKMALAYA.
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa semasa pemerintahan Prabu Geusanulun sampai dengan Pangeran Rangga Gempol II wilayah Sumedang mencakup seluruh Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon. Wilayah tersebut dibagi lagi menjadi beberapa bagian berdasarkan jumlah penduduk dan kepala keluarga, dipimpin oleh seorang Umbul.
Diceritakan semasa Sultan Agung-Mataram diadakan penyerangan ke Batavia dan salah satu panglima perangnya adalah Dipati Ukur Bupati Wadana Priangan yang sebelumnya Bupati Purbalingga menggantikan Rangga Gede Bupati Sumedang yang dipecat karena dianggap gagal membendung serangan Kesultanan Banten. Namun serangan yang dipimpinnya menemui kegagalan, dan Dipati Ukur tidak berani menghadap Sultan Agung di Mataram karena takut dihukum mati. Akhirnya beliau bersama sisa-sisa pasukannya melarikan diri dan bersembunyi di suatu tempat berada di wilayah Sukabumi bagian selatan.
Diantara sejumlah pengikutnya terdapat 3 orang umbul yang diam-diam membelot/meninggalkannya dan menghadap Sultan Agung di Mataram. Oleh Sultan Agung mereka diperintahkan untuk mendampingi Bahureksa kembali ke Tatar Sunda dan menunjukkan tempat persembunyian Dipati Ukur untuk menangkapnya. Setelah Dipati Ukur berhasil ditangkap, dibawa ke Mataram dan dihukum mati disana, tidak berapa lama kemudian ke 3 umbul tadi mendapat anugerah diangkat sebagai mantri agung dan selanjutnya menjadi Bupati di wilayah umbulnya masing-masing.
Catatan:
Dalam uraian sejarah Sumedang telah diceritakan bahwa kematian Suriadiwangsa/Rangga Gempol I akibat fitnah dari Dipati Ukur dan selanjutnya merebut kedudukan Bupati Wadana Prayangan/Priangan dari tangan Rangga Gede, namun akhirnya Dipati Ukur beserta sisa-sisa pengikutnya menemui kematiannya secara tragis justru di tangan rajanya sendiri yaitu Sultan Agung Mataram. Apakah ini hukum karma ?
Salah satu dari ke 3 umbul tadi bernama Wirawangsa yang menjabat umbul Sukakerta, kemudian mendapat anugerah dengan diangkat menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha. Sukapura yang semula berada dalam wilayah kekuasaan Sumedang. menjadi Kabupaten yang sama kedudukannya, sementara umbul yang lainnya diangkat menjadi Bupati Timbanganten/Bandung (Raden Tumenggung Wiraangun angun) dan Bupati Parakan Muncang (Raden Tumenggung Wiratanubaya) yang dahulunya sama berada dalam wilayah kekuasaan Sumedang. Kejadian tersebut tercatat dengan keluarnya Piagam Sultan Mataram tanggal 26 Juli 1932. Selain sebagai penghargaan juga terkandung maksud dari Sultan Agung untuk persiapan penyerangan Batavia ketiga kalinya melalui re-organisasi kewilayahan, namun tidak terlaksana karena beliau keburu meninggal dunia.
Catatan :
Siapakah sebenarnya Wirawangsa ? Dalam buku sejarah Sukapura diterangkan bahwa beliau putra Wiraha dan cucu Pangeran Kusumadiningrat seorang bangsawan Mataram yang suka berkelana kemudian menikah dengan salah satu putri Rangga Gempol Sumedang. Namun dalam silsilah Sumedang tidak tercantum nama beliau, walaupun tercantum Kusumahdiningrat yang menikah dengan R.A Ayoemayar putri Rangga Gede namun tidak ada catatan nama keturunannya. Begitu pula dalam buku sejarah Sukapura tercatat ibu kandung Wirawangsa bernama Nyi Raden Agung namun tidak tercatat dalam buku silsilah keturunan Sumedang.. Sampai tulisan ini disusun belum diketemukan sosok yang sebenarnya dari Wirawangsa.
Wirawangsa/Raden Tumenggung Wiradadaha memerintah Kabupaten Sukapura dari tahun 1632 sampai tahun 1673, dalam sejarah Sukapura beliau dikenal sebagai Wiradadaha I, memiliki beberapa istri dan selir serta berputra 28 orang. Sepeninggal beliau diganti oleh salah satu putranya yang bernama Raden Jayamanggala dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha II, namun dalam perjalanan pulang dari Mataram selesai dilantik beliau meninggal dunia, memiliki 10 orang putra yang masih kanak-kanak yang dianggap belum pantas menggantikan posisi ayahnya dan salah satu putra bernama Raden Abdul.
Akhirnya adik Raden Jayamanggala yang bernama Raden Anggadipa diangkat sebagai Bupati Sukapura dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha III, beliau memerintah dari tahun 1675 sampai 1723. Selain itu beliau mendapat julukan Dalem Sawidak karena dari beberapa istri dan selir beliau memiliki 62 orang anak (bhs.Sunda Sawidak=60). Seperti daerah-daerah lainnya dalam masa pemerintahan beliau terjadi pergantian penguasa dari Mataram ke VOC Belanda, dan Kabupaten Sukapura ditempatkan dibawah Karesidenan Cirebon.
Tampuk kepemimpinan kemudian beralih kepada salah satu putranya yang bernama Raden Subamanggala dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha IV yang memerintah dari tahun 1723 sampai 1745 dan Bupati Sukapura pertama yang dilantik oleh VOC-Belanda, beliau tidak memiliki anak dan untuk mengisi kekosongan sepeninggal beliau diangkatlah Raden Demang Sacapati, putra Raden Abdul yang juga cucu Raden Jayamanggala/Raden Tumenggung Wiradadaha II dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha V yang memerintah dari tahun 1745 sampai 1747. Beliau memiliki 4 istri dan 10 anak dan memerintah hanya 2 tahun
Sepeninggal Raden Sacapati/Raden Tumenggung Wiradadaha V, dikarenakan anak-anaknya masih kecil ditugaskanlah oleh Pemerintah Belanda Raden Tumenggung Wiratanubaya III Bupati Parakan Muncang memegang sementara Kabupatian Sukapura sampai salah satu putra Raden Demang Sacapati/Raden Tumenggung Wiradadaha V yang bernama Raden Jayanggadireja dewasa dan dianggap pantas untuk meneruskan tampuk kepemimpinan dengan bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VI dari tahun 1747 sampai 1765, beliau hanya memiliki 3 orang anak dan salah satu anaknya yang bernama Raden Jayamanggala meneruskan estafet kepemimpinan dengan bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VII, Di kemudian hari karena dianggap pandai mengurus daerahnya beliau mendapat gelar Adipati dari Pemerintah Belanda dan berganti nama menjadi Raden Adipati Wiratanubaya memerintah dari tahun 1782 sampai 1805.
Beliau memiliki sejumlah istri dan selir berputra 37 orang diantaranya terdapat Raden Anggadipa yang kemudian menggantikannya dengan gelar Raden Adipati Wiradadaha VIII dari tahun 1805 sampai 1828, di tengah masa pemerintahannya yaitu tahun 1811 oleh Gubernur Jendral Raffles pada saat Kerajaan Inggris berkuasa di Nusantara menggantikan Kerajaan Belanda, beliau dicopot pula dari jabatannya dan Kabupaten Sukapura dinon-aktifkan. Latar belakang peristiwa tersebut karena beliau dianggap gagal dalam kewajiban tanam Nira. Namun pada saat Belanda kembali berkuasa pada tahun 1813 Kabupaten Sukapura diaktifkan kembali namun dibawah kepemimpinan Bupati dari Sumedang yang bernama Raden Tumenggung Surialaga (Dalem Talun) adik dari Pangeran Kornel. Tahun 1814 Raden Adipati Wiradadaha VIII diangkat kembali menjadi Bupati Sukapura. Peristiwa tersebut dikenal dengan idiom SUKAPURA NGADAUN NGORA artinya Sukapura kembali muncul.
Catatan :
Dalam buku sejarah Sukapura diterangkan bahwa pendeknya usia pemerintahan R.T.Surialaga karena tidak disukai rakyat Sukapura yang menginginkan kembalinya R.A.Wiradadaha VIII menjadi Bupati, namun dalam catatan sejarah Sumedang diterangkan bahwa pengangkatan R.T.Surialaga oleh Belanda bersifat sementara dimana beliau mendapat tugas menata kembali Kabupaten Sukapaura yang selama 3 tahun vakum.
R.T.Surialaga sebelumnya adalah Bupati Karawang dan pernah pula menjadi Bupati Bogor dan pada waktu dipindahkan ke Sukapura beliau sudah berusia lanjut.
Usai menjabat sementara Bupati Sukapura beliau langsung meminta pensiun dan tinggal di Talun Sumedang sampai akhir hayatnya sehingga disebut Dalem Talun.
Membandingkan 2 catatan diatas timbul pertanyaan, mana yang benar ? Apakah ini salah satu sentimen kesejarahan antara Sukapura dengan Sumedang ?. Disertai pula idiom yang entah dari mana munculnya SUMEDANG NGARANGRANGAN, SUKAPURA NGADAUN NGORA (Sumedang berguguran, Sukapura muncul kembali).
R.A.Wiradadaha VIII memiliki adik yang bernama Raden Tanuwangsa, beliau pernah ditugaskan magang di Kabupaten Sumedang mendirikan gudang-gudang penyimpanan kopi. Tidak lama kemudian beliau diangkat menjadi Patih mendampingi kakaknya dengan gelar Raden Tumenggung Danuningrat, dan atas upaya beliau Kabupaten Sukapura menerima tambahan wilayah dari Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Galuh sehingga bertambah luas serta merupakan cikal bakal Kabupaten Tasikmalaya.
Sepeninggalnya R.A.Wiradadaha VIII yang menggantikan beliau bukanlah salah satu dari 14 anaknya tapi adiknya tadi yang menjadi patihnya bernama Raden Tumenggung Danuningrat dengan gelar Raden Tumenggung Wiratanubaya dari tahun 1837 sampai 1844. Beliau termasuk Bupati yang harum namanya dan sempat memindahkan ibu kota Sukapura ke wilayah yang sekarang dikenal dengan Kota Tasikmalaya, memiliki beberapa istri dan 14 anak.
Catatan:
Tidak ada keterangan kenapa bukan salah satu putra Wiradadaha VIII yang menggantikan posisi ayahnya sesuai tradisi, apakah ada campur tangan dari Sumedang yang dianggap Kabupaten senior oleh Belanda ? Mengingat pula R.T. Danuningrat pernah tinggal dan magang di Sumedang sehingga kedekatannya dengan Bupati Sumedang sangat berpengaruh terhadap pengangkatannya sebagai Bupati Sukapura.
Putra sulung yang bernama Raden Wiradimanggala menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar yang sama yaitu Raden Tumenggung Wiratanubaya, namun pemerintahannya pendek hanya 1 tahun dari 1844 sampai 1845 karena meninggal dunia. Selanjutnya sang adik yang bernama Raden Tanuwangsa menggantikannya dengan gelar Raden Adipati Wiraadegdaha namun tahun 1875 beliau dipecat dari jabatannya karena membangkang perintah atasan dan dibuang ke Riau kemudian ke Bogor sehingga beliau disebut pula Dalem Bogor di kalangan keluarga Sukapura..
Kepemimpinan dilanjutkan oleh adik iparnya yang bernama Raden Demang Danukusuma dengan gelar Raden Tumenggung Wiradiningrat, yang kemudian karena jasa-jasanya beliau diangkat menjadi Adipati sehingga berubah nama menjadi Raden Adipati Wiradiningrat memerintah dari tahun 1875 sampai 1901. Beliau mendapat julukan Dalem Bintang, karena memperoleh penghargaan berupa bintang jasa dari Pemerintah Belanda.
Berputra 20 orang dari beberapa istri dan salah satunya bernama Raden Demang Sukmamijaya yang kemudian menikah dengan salah satu putri Raden Adipati Wiraadegdaha bernama Raden Ayu Purnamasari (pernikahan antar sepupu).
Dari pernikahan Raden Demang Sukmamijaya dengan Raden Ayu Purnamasari lahirlah antara lain Raden Ayu Radja Ratna/Retnadi, yang kemudian menjadi istri R.Panji Suryakusumah salah satu putra Pangeran Suria Kusumaadinata/Pangeran Sugih Bupati Sumedang dan lahirlah Raden Ma’moen yang di kemudian hari menjadi Bupati Sukabumi dengan gelar Raden Adipati Aria Soeria Danoe Ningrat.
Bagan silsilah pendahulu kita dari Sukapura/Tasikmalaya:
Wirawangsa/R.Tmg.Wiradadaha I
Bupati Sukapura 1632-1673
↓
R.Jayamanggala/R.Tmg.Wiradadaha II
Bupati Sukapura 1673
↓
R.Abdul
↓
R.Demang Sacapati/R.Tmg.Wiradadaha V
Bupati Sukapura 1745-1747
↓
R.Jaya Anggadireja/R.Tmg.Wiradadaha VI
Bupati Sukapura 1747-1765
↓
R.Jayamanggala/R.A.Wiratanubaya/R.A.Wiradadaha VII
Bupati Sukapura 1782-1805
↓
R.Wiratanubaya/R.Tmg.Danuningrat
Bupati Sukapura 1828-1835
↓
R.A.A.Wirahadiningrat/Dalem Bintang
Bupati Sukapura 1875-1901
↓
R.Demang Sukmaamijaya
Menikah dengan R.A Purnamasari putri
R.A.A Wiradadaha VIII
↓
R.A.Radja Ratna/Retnadi
Menikah dengan R.Panji Suriakusumah
Putra Pangeran Suria Kusumaadinata/Pangeran Sugih-Bupati Sumedang
↓
R.A.A Soeria Danoe Ningrat
↓
R. Gartidjah
R. Garminah
R.Gandhi Mohammad
R. Gandhini
R. Gartiwi
R. Garmini
R. Garmita
R. Gartika
R. Garsemi
R. Goemira Swargana
R. Ganda Soemaryana
↓
dst.
Pada tanggal 1 Januari 1913 sebutan Kabupaten Sukapura berubah menjadi Kabupaten Tasikmalaya dan yang semula berada dibawah Karesidenan Cirebon selanjutnya berada dibawah Karesidenan Priangan, secara bertahap terjadi re-organisasi wilayah antara Kabupaten Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis dan Garut seperti kondisi sekarang.
P E N U T U P
Demikianlah uraian mengenai asal-muasal kita sebagai anggota keluarga besar Soeria Danoe Ningrat, bukanlah suatu kebetulan bahwa para pendahulu merupakan figur-figur penting, namun anggaplah suatu takdir yang patut kita syukuri karena dengan demikian kita relative mudah melacak siapa saja para pendahulu kita.Disamping itu dengan jabatan dan peran yang pernah diembannya bukanlah untuk disombongkan apalagi dikultuskan oleh kita semua sebagai generasi penerusnya, malahan kita harus mencontoh hal-hal yang baik dan jangan mengulangi perbuatannya yang salah.
Sesungguhnya bila kita mengamati perjalanan hidup para leluhur kita, seperti ada pengulangan sejarah dengan apa yang negara kita sedang alami saat ini, intrik politik, fitnah, saling menjelekkan/menjatuhkan, ambisi kekuasaan dlsb. Masuknya kompeni Belanda dengan politik devida et impera (adu domba) tidak lain akibat ketidak waspadaan para pendahulu kita yang lebih disibukkan dengan berbagai upaya mempertahankan kekuasaannya, diperparah lagi dengan sentimen kesejarahan antar satu dinasti dengan dinasti lainnya, antar satu daerah dengan daerah lainnya.
Cobalah kita merenung atau berandai-andai terhadap tindakan para pendahulu kita:
seandainya Prabu Linggabuana mengikuti saran patih Borosngora untuk tidak berangkat ke Majapahit…..
seandainya Prabu Nusiya Mulya bersedia memeluk agama Islam……
seandainya Prabu Geusanulun tidak membawa lari Harisbaya……
seandainya Suriadiwangsa/Rangga Gempol I tidak berangkat ke Mataram……
seandainya Rangga Gede mau menyerahkan wilayah kepada Kartajiwa……
seandainya Rangga Gempol III/Pangeran Panembahan mau mengikuti ajakan Kesultanan Banten menyerang Belanda….. dst…dst…tentu sejarah akan berkata lain. Semuanya seperti telah dirancang sedemikian rupa, sehingga merupakan takdir yang tidak dapat dihindari.
Yang penting bagi diri kita selaku anggota keluarga besar Soeria Danoe Ningrat adalah menjaga nama baik para pendahulu dengan berperilaku sopan, bermasyarakat yang baik, menghindari kesombongan, menjaga keutuhan, keakraban dan kekeluargaan diantara diri kita sendiri dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Banyak yang sebenarnya iri-hati kepada kita seperti penyusun pernah rasakan dan alami, walaupun sebenarnya itu adalah sejarah masa lalu namun seperti akan diungkap lagi terutama dalam pemilihan Bupati, Legislatif yang sering membutuhkan legitimasi silsilah.
Bagi generasi muda/penerus keluarga besar Soeria Danoe Ningrat penyusun lampirkan nasihat Prabu Tajimalela kepada putranya Prabu Gajah Agung, amanat atau nasihat ini lajimnya disebut AJI(an) atau ILMU KASUMEDANGAN yang menjadi dasar kepemimpinan para pendahulu kita dari Sumedang.
Pepeling Prabu Tadjimalela ka putrana nu djenengan Prabu Gadjah Agung.
S I N O M
Soemanget kasoemedangan
Tara ngoekoet kanti risi
Tara reuwaseun ku bedja
Sikepna titih tjaringtjing
Djaoeh tina hiri dengki
Njekel tetekon noe loehoeng
Gagah bedas tanpa lawan
A S M A RA N D H A N A
Tjitjiren satria leuwih
Pageuh njekelan djandjina
Tara ngawangkong ngabohong
Soemawonna pala tjidra
Katoe bener oetjapna
Kasanggoepan ana metoe
Dibelaan pegat nyawa
Tjitjiren satria leuwih
Boga bakat toemarima
Katambah leber wawanen
Dina ngabelaanana
Ka sasama ka doenoengan
Ka sakoer noe enggeus noeloengan
Koe sagala kahadean
Tjitjiren satria leuwih
Boga bakat karoenjaan
Estoe resep mare maweh
Noeloengan ka noe sangsara
Melaan noe tanpa dosa
Hoeripna pikeun toetoeloeng
Resep kana kaadilan
Tara bedegong tjirigih
Teu adigoeng adigoena
Estoe pahing nyeboet dewek
Lemes boedi nanjoeng basa
Matak soegemaeun semah
Babatoeran pada loecoe
Resep koe prakprakanana
Tah kitoe bakat sajati
Jaoeh tina pangarahan
Beunang diseboet bolostrong
Teu aya pikir rangkepan
Oecap hade estoe broekbrak
Teu nyieun boedi salingkoeh
Teu hayang senang sorangan
Tah kitoe piwoeroek aki
Patokan kasoemedangan
Babakoena handap ansor
Mitoetoer kasatriaan
Make doedoega prayoga
Nyingkahan oejoeb takaboer
Teu agoel koe kagagahan
Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia:
Pembukaaan
Semangat kesumedangan
Tidak pernah mengukur untung rugi
Penuh percaya diri
Tidak pernah merasa iri hati
Memiliki jati diri
Gagah kuat tak punya lawan/musuh
Rendah hati baik budi
Kesabaran adalah ilmu utamanya.
Ciri seorang ksatria sejati
Teguh memegang janji
Tidak pernah membual membohong
Sesungguhnya tiada cacat
Kata-katanya dapat dipegang
Mantap tidak ragu-ragu
Kalau perlu nyawa jadi taruhan
Ciri seorang ksatria sejati
Memiliki kesadaran tinggi
Ditambah keberanian
Dalam membela
Sesama dan atasan
Kepada siapapun yang pernah menolong
Dengan segala kebaikan
Ciri seorang ksatria sejati
Memiliki rasa belas kasihan
Senang dan suka memberi
Menolong mereka yang sengsara
Membela mereka yang tidak berdosa
Hidupnya untuk menolong orang lain
Menyukai keadilan
Tidak keras kepala
Tidak besar kepala
Pantang menonjolkan diri
Berbudi dan berbahasa halus
Membuat orang lain senang
Handai tolan menyukainya
Senang pada tindakannya
Nah itulah sifat satria sejati
Jauh dari ketamakan
Boleh disebut apa adanya
Berbicara dengan baik penuh keterbukaan
Tidak mempunyai pikiran yang jelek/kotor
Tidak memiliki pribadi buruk
Tidak mementingkan diri sendiri
Nah itulah nasihat dari aki (kakek)
Ilmu dari ka-Sumedangan
Intinya adalah rendah hati
Dengan berjiwa satria
Namun penuh kewaspadaan diri
Menghindari sifat sombong dan takabur
Tidak sombong dengan kekuatan yang dimiliki
DAFTAR PUSTAKA
1. Atja, Drs. 1970. Ratu Pakuan. Bandung. Lembaga Bahasa dan Sedjarah Unpad.
2. Atmamihardja, Mamun, Drs, R. 1958. Sadjarah Sunda. Bandung. GANACO NV.
3. Joedawikarta 1933.. Sadjarah Soekapoera, ParakanMoencang sareng Gadjah. Bandoeng, Pengharepan.
4. Lubis, H.Nina, Dr.MS, dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. Bandung. CV. Satya Historica.
5. HermanSoemantri Emuch. 1979. Sajarah Sukapura, sebuah telaah filologis. Jakarta. Universitas Indonesia.
6. Zamhir Drs. 1996. Mengenal Museum Prabu Geusanulun serta Riwayat Leluhur Sumedang, Sumedang, Yayasan Pangeran Sumedang.
7. Sukardja, Djadja. 2003. Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s / d 1886. Ciamis. Sanggar SGB.
8. Sulendraningrat P.S.1975. Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah., Cirebon, Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon.
9. Sunardjo, Unang, R.H. Dr.s. 1983. Kerajaan Carbon 1479-1809. Bandung. PT. Tarsito.
10. Suparman. Tjetje R.H., 1981. Sajarah Sukapura.Bandung
11. Surianingrat, Bayu, Drs. 1983. Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950. Bandung,. CV.Rapico.
12. Soekardi, Yuliadi. 2004. Kian Santang. CV Pustaka Setia.
13. Soekardi, Yuliadi. 2004. Prabu Siliwangi. CV Pustaka Setia.
14. Tjangker Soedradjat, Ade. 1996. Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran Koesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578. Sumedang. Yayasan Pangeran Sumedang.
15. Widjajakusuma, Asikin, R,D, Dr. 1960. Babad Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580. Bandung. Kujang.
16. Winarno, F. G. 1990. Bogor Hari Esok Masa Lampau. Bogor. PT. Bina Hati.
17. BABAD TANAH JAWI mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647, cetakan IV 2008. PT.BUKU KITA, Yogyakarta
Bagikan
Rabu, 03 April 2013
hari hari terakhir BUNG KARNO
Hari-Hari Terakhir Bung Karno
—KETIKA nama Kartosoewirjo didengun-dengungkan kembali sekarang ini, ada satu nama lain yang juga ikut dibicarakan. Bung Karno. Presiden pertama RI itu, disebut hamper berdampingan dengan Kartosoewirjo karena pernah berguru satu ilmu dengannya kepada HOS Tjokroaminoto. Juga mereka berdua, otomatis, adalah teman satu kontrakan.
Kartosoewirjo menjalani detik terakhir kehidupannya dengan peluru panas di dadanya. Beliau wafat dengan tenang, senyum, dan kemudian sejarah—untuk beberapa tahun lamanya—menimbunnya dengan berbagai label mengerikan pada masyarakat Indonesia. Lantas, bagaimana dengan Soekarno, yang menurut buku “Hari Terakhir Kartosoewirjo” karya Fadli Zon, adalah orang yang menandatangani surat eksekusi mati Kartosoerwirjo?
“Aku tidak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut tengah malam, aku menelpon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah sesuatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.’ Aku membaca setiap malam, berpikir setiap malam dan aku sudah bangun lagi jam lima pagi. Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”
Itulah Ungkapan Soekarno yang dicurahkannya kepada Cindy Adams dan selanjutnya dibukukan dengan judul: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sekaligus pertanda betapa masalah politik di saat-saat itu menggerogoti jiwanya. Sepertinya Bung Karno tidak mampu menghadapi gelombang cacian dan makian dari bangsanya sendiri. Inilah awal senja kehidupan Bung Karno; berteman dengan sepi.
Menjelang kejatuhan Bung Karno sebagai Presiden RI, Lembert J. Giebels, mantan anggota Majelis Rendah Parlemen Belanda, menulis dalam bukunya: Pembantaian yang Ditutup-tutupi Peristiwa Fatal di sekitar Kejatuhan Bung Karno, terjemahan dari judul aslinya De Stille Genocide. De fatale gebeurtenissen rond de val de Indonesische President Soekarno.
Lembert menulis, “Dikelilingi oleh diplomat, jurnalis dan anggota staf Istana, Soekarno berlaku seakan akan ia masih tetap seorang kepala negara yang maha kuasa. Namun gambar-gambar televisi mengungkapkan bahwa Soekarno menyadari bahwa ia hanya memainkan peran sebagai Presiden. Pemirsa bisa melihat bagaimana Presiden secara demonstratif menandatangani surat surat di pangkuan sekretarisnya, dengan gelisah menghela asap rokoknya yang telah ia cabut dari kantong baju salah seorang yang berdiri dalam lingkaran itu…Dengan sebuah gerakan tangan tidak sabar Presiden menyuruh pergi Menteri Luar Negeri Adam Malik, tanpa memandangnya. Sesudah itu ia menanggalkan baju seragamnya dan sambil di sana membetulkan lukisan yang miring dan meniup debu yang tidak ada dari bajunya., dengan baju kemeja dan bretel yang tergantung lepas, ia tampak menghilang dari layar televisi.”
Beban psikologis, itulah sebenarnya yang dialami Soekarno di saat-saat kejatuhannya. Dia berjalan sendiri tanpa ada orang-orang yang ikut membantunya.
Hari Minggu siang, tanggal 21 Juni 1970 tersiar berita Presiden Pertama RI, Ir.Soekarno meninggal dunia. Bambang Widjanarko melukiskan bahwa suasana waktu itu bagaikan mendengar guntur menggelegar di tengah siang hari yang terang, masyarakat sangat terkejut dibuatnya.
Bung Karno meninggal karena kesehatannya semakin hari semakin menurun. Sejak awal 1965, penyakitnya sudah hampir menggerogoti tubuhnya. Hal ini terungkap dari pernyataan Amarzan Loebis, wartawan senior yang sangat aktif meliput peristiwa di lingkungan Istana waktu itu:
“Tetapi sesungguhnyalah, terutama sejak awal 1965, kesehatannya (Soekarno) tak lagi bagus. Pada awal September tahun itu, ketika saya menyertai serombongan penghadap yang ikut sarapan pagi di beranda Istana Negara, kami menyaksikan berbagai suntikan, pil, kapsul dan madu Arab bolak-balik disodorkan oleh tim kesehatan kepresidenan yang mendampingi Bung karno. Pada acara-acara malam pun, setelah acara resmi, Bung Karno lebih sering melepas sepatu dan tampaklah kakinya yang membengkak,” ujar Amarzan Loebis.
Inilah gambaran selintas saat-saat sepi Bung Karno. Majalah Tempo, edisi 26 Oktober 2003, hal.71 memberi perhatian besar terhadap Bung Karno: “…kesunyian seorang Bung Karno. Perintahnya tak dituruti, pidatonya hanya menjadi kembang api; membuncah lalu hilang bersama malam. Hampir dua tahun suara Bung Karno nyaris tak terdengar. Ia seperti tokoh dalam novel Gabriel Garcia Marquez: lelaki yang melewati waktunya dalam 100 tahun kesendirian.”
waduk jati gede
Penyelesaian Waduk Jatigede Terhambat "Rumah Hantu"
Terdapat 10 ribu rumah dan semua penghuninya menuntut penyelesaian.
Pembangunan waduk
Antique, Alfin Tofler | Kamis, 4 April 2013, 10:20 WIB
VIVAnews - Kementerian Pekerjaan Umum menyatakan bahwa pembangunan proyek Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat, kini mencapai di atas 70 persen.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarung, Priyo Sembodo, mengatakan, waduk terbesar di Indonesia itu sudah selesai 72,30 persen pada elevasi 200 meter dan tinggal menyelesaikan 40 meter lagi.
"Kalau bangunan bendungan itu kecil di atas, relatif cepat dalam pelaksanaan penyelesaiannya," kata Priyo dalam keterangan tertulis, Kamis 4 April 2013.
Priyo menambahkan, penyelesaian proyek waduk yang bisa menampung air hingga satu miliar meter kubik ini masih mempunyai hambatan, yakni tumbuhnya "rumah hantu".
Rumah itu disebut "rumah hantu", menurut dia, karena rumah-runah tersebut tidak ada dalam tahap pembangunan, tapi tiba-tiba muncul karena didirikan oleh warga. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, diperkirakan ada sekitar 10 ribu rumah dan semua penghuninya menuntut penyelesaian.
Priyo menjelaskan, kini permasalahan lahan menjadi dua bagian, yaitu permasalahan lahan yang dimiliki oleh masyarakat dan yang berada di kawasan hutan.
Untuk kawasan hutan, ia mengatakan, saat ini sudah dikoordinasikan antarkementerian dengan perkembangan yang cukup baik. Sementara itu, untuk lahan yang dimiliki masyarakat, pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah membentuk tim percepatan.
"Untuk mengganti rugi rumah tumbuh tersebut, diperkirakan memerlukan Rp7-20 juta per unit," kata Priyo.
Sementara itu, Kepala Satuan Kerja Pembangunan Waduk Jatigede, Airlangga Marjono, memperkirakan bahwa pada Februari 2014, waduk tersebut sudah bisa diresmikan.
"Peresmian dapat dilakukan pada awal 2014, karena penutupan pintu pengelak direncanakan dilakukan pada akhir September 2013, sehingga diperkirakan muka air akan mencapai puncak elevasi maksimum waduk pada Februari 2014," kata dia.
Waduk Jatigede nantinya akan dimanfaatkan untuk mengairi irigasi sawah seluas 90 ribu hektare, membuat PLTA 10 Megawatt, dan memasok persediaan air baku sebanyak 3,5 meter kubik per detik. (art)
© VIVA.co.id
cara membuat bakso
Cara Membuat Bakso Daging Sapi Super Enak
1
Diposkan oleh Permathic on Senin, 01 April 2013 , in Cara - Cara, Kuliner
Cara Membuat Bakso Daging Sapi Super Enak -
Wah makanan yang satu ini merupakan makanan favorit admin nih,, mau makan berapa banyak pun ga kan bosen , hehe.. apalagi kalo makannya pas dingin2 or pas lg ujan, emmm .. pasti tambah lezato.. akan tetapi seperti kebanyakan orang, belakangan ini admin jadi takut kalo mau makan bakso.. karena banyak kabar dari media, bahwa ditemukan bakso yang mengandung daging bab! ,, hiiii atut.. jangankan makan, ngebayangin aja udah ngeri.. saat mendengar kabar tersebut saya sendiri sempet kesel dan jengkel dengan oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut. Hanya demi keuntungan pribadi hingga merugikan banyak orang. Tapi dari pada akhirnya tidak makan bakso, padahal bakso merupakan makanan favorit. Lebih baik menggunakan cara alternatif, sehingga tetep bisa makan bakso dan pasti halalnya. Ada yang tau dengan cara apa itu ? yups.. caranya dengan membuatnya sendiri.. hehehe ya.. sedikit agak repot sih.. tapi lebih terjamin kehalalnya.. karena kita sendiri yang membuat. Berikut cara membuat bakso daging sapi yang super yahut,,,
Bahan Membuat Bakso
1 kg daging sapi giling
1 ons tepung kanji
6 siung bawang putih
1 senduk makan garam
1/2 sendok teh merica bubuk
penyedap rasa secukupnya
Bahan Membuat Kuah Bakso
Tulang sapi
Air
Bawang putih 5 siung, goreng dan haluskan
Bawang merah 4 siung, goreng dan haluskan
Bawang goreng 1/2 sdm, haluskan
gula 2 sdt
garam 1 sdm
lada 1/2 sdt
daun bawang 4 batang, ambil bagian putihnya, iris halus
kaldu sapi instan, 2 sdt
Cara Membuat Bakso
Haluskan bawang putih, silahkan tumbuk atau blender.
Campur bawang putih yang sudah dihaluskan ke dalam adonan daging sapi giling, merica, garam, penyedap rasa, sekaligus tepung kanji.
Aduk dan uleni adonan tersebut hingga merata kurang lebih 10 menit
Setelah adonan tercampur rata selanjutnya bentuklah menjadi bulatan-bulatan dengan menggunakan tangan sesuai dengan ukuran yang anda inginkan, usahakan agar ukurannya tidak terllau besar supaya bisa matang secara lebih merata dan cepat. Nah disini saya yakin anda bisa untuk membuat bulatan bakso.
Masukkan bulatan bakso yang anda buat ke dalam air panas, kemudian rebuslah ke dalam air yang mendidih hingga matang. Tanda bakso yang telah matang adalah mengapung di permukaan air yang mendidih. Proses perebusan biasanya memakan waktu 10-15 menit.
Angkat bakso yang telah matang dan tiriskan dalam suhu ruangan.
Cara membuat kuah Bakso
Rebus air bersama tulang dan semua bumbunya sampai mendidih dan tulangnya menjadi matang.
Jika sudah matang, kecilkan apinya dan selanjutnya anda sudah bisa menyajikan bakso bersama kuahnya.
Untuk penyajian, bisa di tambah pelengkap seperti bawang goreng, tahu, seledri, saus, kecap dan lain sebagainya agar lebih terasa enaknya.
Nah.. lebih aman kan jika kita yang membuatnya sendiri, jadi tidak takut lagi bakso yang kita makan mengandung daging bab!. Oke.. semoga postingan kali ini bermanfaat..
mie instan
Bahaya Mie Instan Bagi Kesehatan
22
Diposkan oleh Permathic on Minggu, 25 November 2012 , in Kesehatan
Bahaya Mie Instan Terhadap Kesehatan -
Tahukah anda ? Bahwa Indonesia merupakan Negara Ke-2 terbesar konsumsi mienya di dunia setelah Cina. Mie awalnya ditemukan dan dibuat di Cina yang kemudian menyebar keseluruh dunia. Termasuk Indonesia. Mie sendiri merupakan makanan yang terbuat dari bahan dasar tepung terigu dari gandum, sagu, beras atau dari bahan dasar lainnya yang umumnya dari bahan dasar makanan pokok. Yang kemudian di olah menjadi bentuk kecil pipih memanjang. Di Indonesia sendiri mie banyak diolah lebih lanjut ke berbagai jenis olahan makanan. Antara lain : Mie ayam, Mie Tek Tek, Soto, Campuran pada Bakso, Mie Instan dengan berbagai rasa dimulai dari rasa kari, ayam, soto, gulai, dan lain – lain.
Melihat bahan dasar mie yang terbuat dari tepung gandum, Beras, sagu, dan lain – lain, seharusnya mie juga termasuk makanan sehat seperti halnya bahan bakunya yaitu gandum, beras, maupun sagu. Lalu kenapa beberapa penelitian mengajurkan untuk tidak mengkonsumsi mie dalam jumlah yang banyak dan intensitas yang terlalu sering ? ini dikarenakan mie pada zaman dulu dengan mie dengan zaman sekarang sudah berbeda. Mie di zaman dulu hanya menggunakan bahan – bahan alami tanpa pengawat makanan, namun zaman sekarang mie sudah banyak di tambahkan bahan pengawet makanan, bahkan ada yang menambahkan pengawet mayat yaitu formalin. Hiiii serem juga ya... Tapi terdang kita terbuai oleh rasanya yang enak sehingga lupa akan dampak dan bahayanya. Tidak bisa dielakan juga, bahwa saya juga demen makan mie, khususnya mie instan dan mie Ayam sebab rasanya yang memang enak.. hehehe.
Sahabat pembaca, baiknya kita sedini mungkin mengurangi konsumsi mie instan atau kalau bisa menghindarinya. Sebab mie instan sangat tidak baik untuk kesehatan. Apa lagi mie ayam, karena beberapa penelusuran, mie ayam yang identik dengan banyak saus tersebut, ternyata saus tersebut banyak dibuat dari bahan yang benar – benar tidak layak untuk dimakan dan sangat membahayakan kesehatan. Agar anda lebih jelas mengetahui bahayanya berikut saya paparkan tentang kandungan dan bahaya Mie Instan.
Kandungan Mie Instan
Mie dibuat dari campuran tepung, minyak sayur, garam, dan beberapa bahan aditif seperti natrium polifosfat (berfungsi sebagai pengemulsi/penstabil), natrium karbonat dan kalium karbonat yang berfungsi sebagai pengatur asam. Selain itu, mie juga ditambahkan zat pewarna kuning (tartrazine).
Selain mie itu sendiri, ada pula bumbu mie yang banyak mengandung garam, cabe, dan bumbu-bumbu lain. Bumbu mie instan juga tak lepas dari zat aditif makanan seperti MSG (monosodium glutamat) yang berfungsi sebagai penguat rasa.
Penelitian laboratorium Fakultas Kedokteran Univ. Indonesia membuktikan bahwa 100%, atau SELURUH sampel mie instan yang beredar di pasaran MENGANDUNG BAHAN PLASTIK yang tentunya sangat berbahaya bagi pencernaan.
Dr. Hasan Budiman, kepala laboratorium Fakultas Kedokteran UI menyatakan, bahwa dalam SELURUH sampel yang diambilnya di pasar swalayan, toko-toko, dan warung di wilayah DKI dan sekitarnya ditemukan bahan plastik yang tidak mungkin bisa dicerna dalam sistem pencernaan kita. Luas diketahui bahwa plastik adalah bahan yang tidak mungkin terurai secara alamiah, dan merupakan bahan yang sangat berbahaya untuk dikonsumsi.
Kandungan-kandungan yang berbahaya tersebut sangat tidak baik dikonsumsi oleh tubuh. Apalagi jika kita mengkonsumsi mie instan dalam waktu yang lama dengan intensitas yang sangat tinggi. Pastinya penyakit akan mudah dan hinggap di tubuh kita.
Bahaya Makan Mie Instan
Beberapa penyakit berikut ditengarai akibat terlalu banyak makan mie instan.
Penyebab kanker
Mie instan banyak mengandung zat aditif seperti MSG yang bisa menjadi pemicu kanker dalam tubuh. Banyak kasus nyata tentang orang yang sakit dan diduga disebabkan karena terlalu banyak mengkonsumsi mie instan. Karena itu, sebaiknya Anda pun mulai mengurangi mengkonsumsi makanan ini.
Chinese restaurant syndrome
Bahaya makan mie instan yang satu ini lebih mirip keracunan. Hal ini disebabkan oleh MSG yang terdapat pada bumbu mie instan. Ada beberapa orang yang tidak tahan dengan MSG, lalu kemudian merasa pusing dan sesak nafas. Namun penyakit ini tidak terlalu fatal, karena akan sembuh setelah 2-3 jam kemudian.
Kerusakan jaringan otak
Mengkonsumsi mie instan terus-menerus sama dengan menumpuk zat-zat kimia berbahaya dalam tubuh dan efeknya bisa merusakkan sel-sel jaringan otak. Akibatnya, akan terjadi penurunan transmisi sinyal dalam otak. Selain itu, kerusakan jaringan sel otak ini juga akan memicu penyakit-penyakit lain seperti stroke atau keumpuhan.
Lalu bagaimana cara agar kita bisa tetap mengkonsumsi mie namun tetap aman bagi kesehatan ? Jawabnya : dengan membuat sendiri mie di rumah. Caranya mudah kok, ya walaupun membutuhkan waktu yang lebih. Tapi apa salahnya dilakukan demi kesehatan kita juga. Berikut caya membuat mi :
Bahan :
250 g tepung terigu
1 sdt garam
2 kuning telur, kocok sebentar
1 sdm minyak zaitun
100 ml air
Cara Membuat :
Campur tepung terigu dan garam, aduk rata. Tuang telur, minyak zaitun, dan air. Uleni adonan hingga tidak lengket di tangan. Gilas adonan dengan penggiling adonan mi nomor 1, lipat dua dan gilas kembali. Gilas kembali dengan nomor 2, lipat dua, gilas kembali. Ulangi dengan nomor 3 dan 4 dan taburi dengan tepung terigu. Masukkan lembaran adonan dalam alat pembentuk mi. Taburi mi dengan tepung terigu dan gulung. Taruh dalam wadah kedap udara sebelum digunakan.
Gimana ? masih ingin tetap konsumsi mie instan namun akan mengganggu kesehatan anda atau membuat mie sendiri sehingga aman untuk kesehatan. Ya... pilihan ada di tanggan anda.
khasiat buah dan kulit manggis
Belajar Hidup Sehat
15 jam yang lalu
"Buah manggis memiliki kandungan zat xanthones yang bermanfaat untuk mengatasi penyakit-penyakit yang mematikan seperti kanker, diabetes, jantung, arthritis, alzheimer, dan lainnya. Zat xanthones yang di hasilkan manggis dapat menghindarkan berbagai penyakit yang disebabkan peradangan, seperti artritis dan alzheimer (merupakan salah satu penyakit disfungsi otak). Selain itu xanthone juga bermanfaat mencegah pertumbuhan sel kanker dan tumor. Kulit buah manggis juga multi khasiat yaitu antikanker, antioksi dan mujarab mengatasi jantung koroner, HIV, dan sebagainya. Ekstrak kulit manggis bersifat antiproliferasi untuk menghambat pertumbuhan sel kanker. Selain itu ekstrak tersebut juga bersifat apotosis penghancur sel kanker. Kandungan zat xanthone yang terdapat padanya mampu merawat beberapa jenis penyakit kanker seperti kanker hati, pencernaan, paru-paru dan sebagainya. Xanthone dalam kulit manggis juga ampuh mengatasi penyakit tuberkulosis (TBC), asma, leukimia, antiinflamasi, dan antidiare. Anda dapat menikmati buah manggis langsung dimakan atau dibuat jus.
garam himalaya dua
8 Manfaat Kesehatan dari Salt Natural dimurnikan
Ditulis oleh Isabella Samovsky
Sejak awal kehidupan di bumi, garam alam telah menjadi elemen penting yang digunakan oleh flora laut, hewan, dan manusia. Himalaya Garam yang berasal dari bumi terdiri dari delapan puluh empat unsur yang vital bagi kehidupan. Nutrisi ini adalah elemen yang sama ditemukan di tubuh kita untuk menjaga kesehatan yang optimal. Tubuh kita mengandung cairan garam yang sama (air dan garam alami,) seperti yang ditemukan di laut purba. Tidak ada perusahaan manufaktur dapat membuat suatu zat yang cocok dengan penyembuhan dan sifat kesehatan garam alami. Misalnya, ketika seseorang diet s menjadi kekurangan unsur jejak, sel-sel mereka kehilangan kemampuan untuk mengelola ion mereka. Hasil dari kerugian dalam keseimbangan ion adalah meledak dari sel-sel tubuh s yang menyebabkan berbagai macam masalah kesehatan.
Kemampuan tubuh s untuk menyeimbangkan dan mengelola ion sangat penting untuk mencegah kondisi seperti kejang otot, gangguan saraf, dan kerusakan otak. Selain itu, mencegah hilangnya ion membantu menjaga keseimbangan PH yang tepat untuk mencegah penyakit seperti kanker. Menjaga keseimbangan ion merupakan hal mendasar untuk menjamin regenerasi sel dan pertumbuhan.
Garam alami mengandung mineral yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berfungsi dengan baik. Mineral adalah nutrisi anorganik yang diserap oleh tubuh dalam bentuk garam. Ada delapan elemen utama yang dibutuhkan oleh tubuh dan unsur-unsur lainnya yang diperlukan dalam jejak. Unsur-unsur utama adalah kalsium, natrium, kalium, klor, fosfor, sulfur dan magnesium. Beberapa elemen meliputi: besi, fluor, tembaga, seng, kromium, iodin, mangan, dll kobalt
Manfaat garam alami dimurnikan meliputi:
1. Garam alami membantu untuk menjaga detak jantung teratur karena kemampuannya untuk mengatur tekanan darah.
2. Garam alami membantu kemacetan jelas dalam paru-paru dan saluran hidung. Ini membersihkan lendir, dahak, dan sinus sesak. Garam merupakan antihistamin alami yang kuat
3. Garam alami membantu menyeimbangkan kadar gula darah tubuh s yang menguntungkan orang yang menderita diabetes.
4. Garam alami membantu menghilangkan keasaman berlebih dari sel-sel tubuh yang membantu untuk membantu mencegah kondisi seperti Kanker
5. Garam alami sangat penting untuk pembangkit listrik di lokasi energi yang dibutuhkan oleh sel-sel. Penting untuk produksi sumber energi utama tubuh, adenosin trifosfat (ATP), garam alami mengandung unsur-unsur yang merupakan sumber proton yang diperlukan untuk produksi ATP.
6. Garam alami sangat penting untuk komunikasi sel saraf dan pengolahan informasi yang sangat penting untuk fungsi otak yang tepat.
7. Garam alami sangat penting untuk menjaga tulang kuat dan menangkal kondisi tulang seperti Osteoporosis. Selain itu, perlu untuk penyerapan partikel makanan melalui saluran pencernaan.
8. Garam alami tidak mengandung bahan kimia tambahan apapun yang dapat berbahaya bagi tubuh. Misalnya, garam diproduksi mengandung aluminium yang berbahaya bagi sistem saraf. Aluminium telah terlibat sebagai salah satu penyebab utama penyakit Alzheimer s.
Himalaya Garam adalah salah satu dari garam alami sehat dan murni tersedia. Garam terbentuk 250 juta tahun yang lalu ketika matahari mengeringkan laut prasejarah yang asli. Ini benar-benar sempurna dan alami dan sama dengan struktur laut primitif paling awal. Garam penuh mineral dan nutrisi yang ditemukan secara alami dalam tubuh kita. Ketika laut kuno dekat Himalaya kering dari panas matahari s, rentang Himalaya pegunungan mulai bangkit. Lapisan garam yang diendapkan menetap jauh ke dalam tanah. Selama jutaan tahun, lapisan garam akumulasi menjalani sejumlah besar tekanan dan suhu yang dihasilkan dalam pembentukan kristal garam murni dan tidak tercemar. Garam ditambang, tidak diproses dari air laut, di Himalaya di kaki bukit Pakistan menggunakan metode yang melestarikan kemurnian garam dan integritas struktural. Hal ini digali tangan, dicuci dan dikeringkan.
Himalaya Salt mengandung 84 elemen gizi yang penting untuk fungsi tubuh kita. Struktur garam yang berbeda bergetar energi dan mineral dan elemen yang cukup kecil untuk diserap oleh sel-sel. Dengan membantu untuk menjaga keseimbangan elektrolit dalam tubuh, unsur-unsur alami garam s membantu mengatur tingkat gula darah, mengatur air dalam tubuh kita, mempromosikan keseimbangan PH yang kuat dalam sel, khususnya sel-sel otak, dan memperlambat proses penuaan. Selain itu, membantu dalam pembangkitan energi listrik tenaga air di sel-sel dalam tubuh, meningkatkan penyerapan nutrisi yang lebih baik dalam saluran usus, dan mempromosikan kesehatan pernapasan dan sinus. Dalam kombinasi dengan air, mengatur tekanan darah kita. Himalaya garam digunakan dalam produk perawatan pribadi, produk mandi, makanan penyedap, dan produk-produk kesehatan di rumah seperti lampu garam Himalaya, terapi minum, dan banyak lagi.
Isabella Samovsky didirikan Solay Wellness ketika dia hanya 29-tahun, setelah jatuh cinta dengan lampu kristal garam. Ketika dia mengatakan itu, dia langsung tertarik pada keindahan lampu mencolok dan energi, serta manfaat kesehatan yang kuat. Tapi, Isabella tidak berhenti di situ. Setelah melakukan penelitian, dia belajar bagaimana menguntungkan alami garam Himalaya adalah dan tentang itu banyak kegunaan, serta bagaimana hal itu dapat digunakan untuk membantu orang terlihat dan merasa lebih baik. Hal ini mendorong dia untuk membuat dba Solay Wellness www.natural-garam-lamps.com pada tahun 2004 dan akhirnya meluncurkan sendiri terlaris garis kesehatan termasuk Solay sederhana, gourmet Solay, senyum Solay, Solay 84 mineral dan banyak lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)